Sabtu, 24 Oktober 2009

karakter rendah diri!

Karakter rendah hati

Kalo kita rendah hati,maka kita akan menganggap orang lain lebih penting dari pada diri sendiri.
Maka dengan itu,kita akan mendahulukan orang lain dalam kehidupan.

Yesus pun rendah hati,Ia menganggap kita sebagai manusia lebih utama.

Rendah hati dalam keluarga:
1. Saat ada di dalam suami istri, maka suami akan lebih mementingkan kepentingan istri begitupula sebaliknya. Maka akan terjadi kesejajaran.
2. Orang tua dengan anak, akan saling merunduk.

Persoalannya apa yang terjadi di dalam keluarga adalah konflik yg ada didalam keluarga, hal ini disebabkan tidak adanya karakter rendah hati.
Apabila hanya seseorang yg memiliki kararkter ini maka akan menjadi hal yang berbahaya, dapat saling merendahkan. Karena akan menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain.

Akibat tidak adanya karakter rendah hati, akan adanya konflik.

Karakter ini harus dimiliki oleh setiap individu agar tidak terjadinya tumpang tindih, tidaka ada yang tinggi hati atau yang lebih rendah hati.

Dari mana kita mndapatkan karakter ini:
1. Belajar dari Yesus, dalam firman2nya.
Secara alami manusia memiliki ego yang menyebabkan rendah hati menjdi sulit dijalani. Kesayaan lebih kuat!

Karakter memiliki kualitas positif yang dapat diperbaiki. Perbaikan karakter akan berjalan lama, dibutuhakan KEBERANIAN, harus dibutuhkan KERJA KERAS SEUMUR HIDUP!!

Motivasi untuk rendah hati akan mempngaruhi tahan lamanya kerendahhatian. Motivasi atas nama Yesus lah yang dapat menguatkan diri kita untuk dapat berubah dan memiliki karakter rendah hati.
Dengan KONSEP MENIRU KERENDAHHATIAN YESUS KITA AKAN MENDAPATKANNYA!!

Polisi vs Reformasi

II. 1. Reformasi POLRI

Reformasi dalam pemerintahan juga mempengaruhi sistem yang ada dalam tubuh Kepolisian. Kepolisan Republik Indonesia harus mengikut sistem yang telah ditentukan untuk pemerintah. Reformasi POLRI yang bertujuan untuk mengubah citra polisi dari yang militeristik ke polisi sipil (civil police) yang demokratik, professional, dan akuntabel dalam pelaksanaannya berpacu dengan tugas rutin. Akibatnya reformasi yang diharapkan dapat mengubah citra POLRI sesuai dengan harapan, sedangkan hasil yang ada belum terlihat optimal. Hal tersebut diperburuk dengan masih adanya citra negatif yang melekat di dalam tubuh POLRI yang membuat pihak POLRI tidak dapat memberikan perubahan yang dapat terlalu dirasakan.
Sejak ditetapkannya Undang-Undang (UU) 20 tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan di bawah naungan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam). Penempatan POLRI di bawah Dephankam sebagai unsur ABRI tersebut berlangsung berturut-turut. Terakhir, berdasar Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, POLRI terpisah dengan TNI, dan langsung berada di bawah presiden.
Pada dasarnya, reformasi yang ada dalam pihak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sedikitnya meliputi tiga aspek, yaitu:
1. Reformasi instrumental.
2. Reformasi struktural.
3. Reformasi kultural.
Ketiga aspek itu, mustahil dapat direalisasi tanpa dukungan masyarakat, di samping -tentu saja- tanpa dukungan negara. Dalam kerangka itulah, perlunya peniadaan tarik menarik kepentingan, antara siapa atau pihak mana pun yang dalam jangka waktu panjang, menengah, atau pendek, dapat mengakibatkan kendala substansial perwujudan POLRI yang profesional dan mandiri.

II. 2. Perubahan Kultur

Reformasi POLRI hanya mungkin eksis jika ada dukungan masyarakat. Tanpa itu, perubahan kultur pribadi anggota (karakter polisi) khususnya yang diduga korupsi, menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang, keliru menggunakan diskresi, memberikan pelayanan yang buruk, atau melakukan tindakan diskriminatif dalam pelayanan-, mustahil dapat dilaksanakan. Dalam kaitan itu kita melihat, betapa di tengah bulatnya tekad pengabdian, pelayanan, dan pengayoman masyarakat oleh anggota dan institusi POLRI, tidak sedikit ditemukan fakta yang disebut publik sebagai polisi yang menyimpang. Polisi macam itu eksis, lantaran karakter pribadi bhayangkaranya tidak terpantau masyarakat. Di samping, yang jauh lebih penting, tidak secepatnya menerima sanksi administrasi dan hukum oleh atasan. Keberadaan polisi nakal sangat berbahaya, karena dapat merusak citra institusi tersebut, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat (public trust), serta merusak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri. Dalam konteks itulah arti penting reformasi kultural, di antaranya bertujuan meniadakan pemahaman yang keliru atau pemahaman yang sengaja digelincirkan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai diskresi polisi pada khususnya.
Melalui reformasi kultural, diharapkan penerapan diskresi POLRI lebih terarah kepada perwujudan etika dan profesionalisme polisi yang bersifat universal, sekaligus sebagai akses penyesuaian diri dengan domain kultural di lingkungan mikro (lokal), meso (regional), dan makro (nasional) setiap anggota POLRI bertugas (di dalam negeri). Reformasi POLRI merupakan prasyarat mutlak guna meniadakan justifikasi publik atas kekuasaan yang berlebihan. Sebab, jika justifikasi publik atas kewenangan yang berlebihan dibiarkan tersebar ke mana-mana, akan mendorong tumbuh serta berkembangnya kesan umum berupa superbody dari POLRI. Kesan demikian sama sekali tidak menguntungkan, karena POLRI punya batas kewenangan di tengah luasnya wewenang yang dimiliki sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002.
Reformasi POLRI mutlak dibutuhkan, karena dengan itu akan terwujud kinerja kepolisian tentang apa, bagaimana, dan sejauh mana setiap anggota boleh dan tidak boleh berbuat. Reformasi POLRI membuka wacana bagi setiap orang yang menyandang status polisi atas boleh tidaknya pribadi yang bersangkutan melakukan pengaturan sikap serta perilaku seseorang atau sejumlah orang lain dalam situasi konflik. Tertutama jika situasi konflik tersebut dapat mengganggu keamanan dan ketertiban orang lain di sekitarnya.
Perubahan kultur pribadi polisi, tepatnya perubahan karakter setiap anggota sebagai salah satu sasaran reformasi, merupakan prasyarat mutlak terbentuknya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian di Tanah Air. Sebab, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan kepemimpinan lembaga-lembaga formal penegak hukum, khususnya kepolisian, merupakan penyebab kegagalan reformasi POLRI secara keseluruhan.
Dengan cara demikian, publik akan menyadari, polisi itu bukan dewa. POLRI pun bukan lembaga dewa. Kesadaran publik tersebut, pada gilirannya akan membentuk barikade internal di tubuh POLRI, bahwa polisi bukan segala-galanya. Institusi kepolisian kita (POLRI) pun bukan lembaga superbody.


II. 3. Kontrol Publik

Realisasi reformasi POLRI, membutuhkan kontrol publik. Tanpa kontrol masyarakat, kedekatan permukiman warga dan pusat kegiatan awam dengan tempat bertugas polisi, disertai kewenangan polisi yang sedemikian luas, akan dapat membuka peluang polisi untuk bisa menyalahgunakan kekuasaannya. Tanpa kontrol publik, tidak sedikit oknum polisi dengan gampangnya bisa melakukan tindakan korupsi, memberikan pelayanan yang buruk, serta tindakan diskriminiatif. Selain itu, dapat seenak hati menerapkan diskresi, sehingga -sekalipun dibenarkan oleh hukum- melanggar hak asasi manusia (penggunaan diskresi yang keliru). Di sisi lain, ketatnya kontrol publik atas karakter anggota POLRI pada umumnya, akan mendorong atasan (pimpinan secara berjenjang) menjatuhkan sanksi administratif dan tindakan hukum bagi anggotanya yang nakal. Sebab, jika setiap jenjang komando di tubuh POLRI. Termasuk dalam kategori polisi nakal adalah polisi yang berpenampilan militeristik dan arogan dalam bertugas. Kultur militeristik polisi, bukan zamannya lagi. Demikian pula polisi bergaya arogan. Kedua karakter polisi di masa lalu itu, terbukti telah mengakibatkan keterpurukan citra yang berkepanjangan, sehingga tidak dapat lagi ditoleransi di masa sekarang dan mendatang. Berbagai kasus pelayanan publik di lapangan membuktikan, di tengah maraknya persaingan antarlembaga pelayanan publik, baik antar sesama lembaga pelayanan publik milik negara (termasuk POLRI) maupun antara lembaga pelayanan publik milik negara dengan milik swasta, tampaknya membuat masyarakat lebih memilih pelayanan yang dilakukan oleh lembaga nonPOLRI, ketimbang yang diperankan POLRI.
Penyebabnya mudah ditengarai, yakni tidak sedikit pelayanan POLRI yang mendatangkan risiko finansial (harus membayar) lebih banyak dibanding jika pelayanan sejenis dilakukan lembaga negara lainnya.


II. 4. Multidimensi

Itulah sebabnya, mengapa reformasi POLRI harus dilakukan dengan mempertimbangkan tidak hanya aspek dan kepentingan lokal serta nasional, tetapi juga lewat pendekatan kepentingan global. Itu berarti, reformasi POLRI bersifat multidimensi, kalau memang benar-benar bertekad keluar dari berbagai kemelut dan jebakan kerusakan citra sistemik. Aneka kemelut dan rusaknya citra secara sistemik, disebabkan terutama oleh keterlambatan pimpinan POLRI khususnya, serta berbagai pihak lain (pemerintah dan masyarakat Indonesia) untuk bersama-sama melakukan reformasi. Keterlambatan ketiga aspek reformasi tersebut, mengakibatkan sejumlah ideal dan norma hukum (bagian tanggung jawab POLRI) kehilangan maknanya. Salah satu contoh konkretnya adalah, ketika anggota POLRI tidak melaksanakan tugas seperti perintah hukum yang sesungguhnya, atau di saat oknum anggota POLRI menyalahgunakan kekuasaan, maka perilaku seseorang atau sejumlah orang yang memasuki ranah kewenangan lembaga peradilan (main hakim sendiri) pun menjadi bisa diterima awam. Buktinya, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang dapat secepatnya memancing tindakan yang sama dari orang lain, yang sebelumnya hanya diam saja.
Ketika mereka melihat polisi di sekitar tindakan main hakim sendiri tersebut cuma berdiam diri alias tidak bertindak keras melawannya, mereka pun terdorong ikut melakukan tindakan melawan hukum yang sama. Di saat karakter polisi hanyut dalam situasi kerawanan psikologi massa dan tindakan destruktif, maka arena pengadilan dalam kehidupan masyarakat yang mendahului proses hukum yang sebenarnya berubah menjadi semacam lembaga sosial baru di tengah pusat kegiatan publik. Selain itu, di saat anggota POLRI tidak mampu mencegah dan menjatuhkan sanksi hukum atas egoisme perorangan dan kelompok yang diwujudkan dalam tindakan anarkis, tidak mengindahkan etika, norma sosial, hukum, dan nilai luhur lainnya, maka kekerasan publik di satu sisi serta kekerasan negara (POLRI) di sisi lain akan menjadi lembaga dan kultur baru di tengah masyarakat.

Konflik sosial di Indonesia

1. Konflik

Gambaran Dahrendorf mengenai asumsi-asumsi utama dalam konflik berdasarkan teori konflik adalah:
1. Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan, yang mana perubahan aka nada dimana saja.
2. Disensus dan konflikterdapat dimana-mana.
3. Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan masyarakat.
4. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap orang lain.
Selain itu, konflik suatu hal yang berasal dari kemajemukan yang ada di dalam masyarakat. Kemajemukan bisa dilihat sebagai suatu anugerah dan dapat pula dianggap sebagai suatu hal yang dapat membebani negara. Kemajemukan bisa menjadi suatu persoalan besar apabila kemajemukan vertikal dan horizontal dirasakan terjadi pada suatu kelompok sosial tertentu. Hal yang muncul tersebut biasanya berupa ketidakadilan yang dirasakan.

2. Jenis Konflik

Berikut ini adalah jenis-jenis konflik yang dikelompokan berdasarkan sumbernya, antara lain:
1. Konflik Data
2. Konflik Hubungan Sosial
3. Konflik Nilai
4. Konflik Kepentingan
5. Konflik Struktural
Jenis-jenis konflik menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role).
• konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
• konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
• konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)

3. Sumber Konflik

Konflik yang kita ketahui mungkin hanya yang dapat dilihat secara kasat mata, ternyata banyak konflik yang terjadi namun tidak terlihat sebagai suatu konflik. Untuk dapat mengetahui apakah yang terjadi adalah konflik atau bukan kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab dari konflik. Sumber penyebab konflik, antara lain:
• Konflik Data
Konflik data disebabkan masalah yang menyangkut keabsahan dan penggunaan metode analisis data yang dipergunakan untuk mengambil keputusan. Contoh dari konflik data adalah konflik mengenai hasil Pemilu( Pemilihan Umum). Penyebab konflik data adalah kurangnya informasi, salah informasi (misinformation), perbedaan pandangan mengenai apa yang relevan, perbedaan memaknai data, perbedaan prosedur penilaian.
• Konflik Hubungan Sosial
Konflik ini terjadi dalam kerangka jalinan atau interaksi sosial antarpribadi, antarkomunitas, dan antarkelompok. Konflik ini terjadi disebabkan oleh emosi-emosi yang kuat, salah persepsi atau stereotip, komunikasi yang buruk atau salah komunikasi, perilaku negatif yang berulang-ulang.
• Konflik Nilai
Konflik terjadi akibat perbedaan sistem nilai atau keyakinan yang dianut oleh pihak-pihak terkait. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kriteria dalam mengevaluasi ide-ide atau perilaku, tujuan-tujuan nilai yang ekslusif secara intrinsik, perbedaan cara hidup, ideologi, dan Agama.
• Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan terjadi akibat persaingan kepentingan yang dirasakan menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi atau yang secara nyata memang tidak berkesesuian. Konflik ini disebabkan oleh kompetisi yang dirasakan atau nyata, kepentingan Substantif, kepentingan Prosedural, kepentingan Psikologis.
• Konflik Struktural
Terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses kontrol terhadap sumberdaya, seperti: tanah, tambang, sumber air, dan hutan. Konflik struktural ini disebabkan karena adanya pola-pola perilaku atau interaksi yang destruktif, ketimpangan kontrol, kepemilikan, atau distribusi sumberdaya, faktor geografi, fisik, atau lingkungan yang menghalangi kerjasama, kendala waktu, ketimpangan kekuasaan dan otoritas.
Dari sumber lain menyebutkan ada beberapa hal Faktor penyebab konflik , yaitu:
1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. Demikian banyak hal yang dapat dicontoh, terdapat kelompok yang merasa paling kuat, paling benar sehingga kurang menghargai kelompok lain atau perbedaan.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menganggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian diekspor guna mendapatkan keuntungan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terdapat perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka. Sering terjadi pada industri-industri yang sedang berkembang seperti banyak terdapat di Indonesia, bahkan dalam pengamatan terdapat konflik antara perusahan dengan pemerintah sehingga banyak perusahana besar dan terkenal menghentikan produksinya dan memindahkan ke negera lain.
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada


II. 4. Faktor-faktor Konflik

Konflik-konflik yang terjadi disebabkan beberapa faktor, berikut ini adalah faktor yang menyebabkan konflik etnis dapat terjadi, antara lain:
1. Sejarah hubungan antar etnik yang buruk dan tidak terselesaikan. penyelesaiannya membutuhkan penanganan jangka panjang dengan keterlibatan aparat negara dan masyarakat.
2. Ketidakmampuan negara menegakan ketertiban antara lain dengan cara yang tidak memihak, sehingga memnculkan petualang politik. Negara seringkali hanya terlibat secara jangka pendek dan “crash program”. Crash program bahkan menimbulkan apatisme atas upaya penyelesaian konflik.
3. Arah perkembangan ekonomi dan sosial yang menghasilkan ketimpangan kesempatan secara tajam dan kejutan sosial (antara lain hancurnya lembaga yang mengandung elemen solidaritas sosial). Ini sering terjadi pada daerah dimana dibangun industri modern seperti pertambangan.

5. Analisis Konflik

Konflik yang akan coba dilihat dan dianalisis berdasarkan jenis, faktor, sumber konfliknya adalah konflik yang ada di Nanggroe Aceh Darussalam.
Konflik yang terjadi di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan penggolongan yang bukan berdasarkan pendapat dari Dahrendorf adalah konflik struktural. Konflik structural sendiri merupakan suatu konflik yang Terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses kontrol terhadap sumberdaya, seperti: tanah, tambang, sumber air, dan hutan. Konflik struktural ini disebabkan karena adanya pola-pola perilaku atau interaksi yang destruktif, ketimpangan kontrol, kepemilikan, atau distribusi sumberdaya, faktor geografi, fisik, atau lingkungan yang menghalangi kerjasama, kendala waktu, ketimpangan kekuasaan dan otoritas.
Konflik Aceh apabila dilihat secara sejarahnya bermula Penyebab utama konflik Aceh yang berlangsung hampir setengah abad lamanya mempunyai akar sejarah yang panjang yang merupakan akumulasi ketidakadilan dalam bidang politik, sosial-agama, ekonomi dan HAM. Di era Sukarno, Aceh sebagai "daerah modal" kemerdekaan mengalami kekecewaan melalui "degradasi politik" dimana terjadi penurunan status Propinsi Aceh. Setelah itu janji perdamaian dengan keistimewaan dalam agama dan pendidikan tidak pula dilaksanakan. Pada era Suharto Aceh telah berperan sebagai "daerah modal" pembangunan. Konflik Aceh mendapat dimensi baru dengan adanya minyak dan gas pada tahun 1970an dimana pusat memperoleh keuntungan yang sangat besar dibandingkan dengan bagian Aceh (kurang dari 5%). Kesan "Air Susu dibalas Air Tuba" pernah dikemukakan sebagai perlakuan pusat pada Aceh.

Rabu, 21 Oktober 2009

kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia

KEBIJAKAN PEMEBERANTASAN KORUPSI PASCA MANTAN PRESIDEN SOEHARTO HINGGA SEKARANG

A. Perkembangan Aturan Korupsi di Indonesia

Kondisi kasus korupsi memang dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Negara dengan 200 juta penduduk ini, pada tahun 2004 tercatat sebagai negara ke-5 terkorup di dunia dari 146 negara. Peringkat yang baru dikeluarkan oleh transparansi internasional tersebut menunjukkan bahwa Indonesia satu tingkat lebih buruk dari peringkat tahun lalu. Sekilas inilah kebijakan-kebijakan yang digulirkan pemerintahan Soekarno hingga pemerintahan putrinya :
Pemerintahan Soekarno (1945-1966)
1956-1957: Gerakan antikorupsi dipimpin Kolonel Zulkifli Lubis, wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Kampanye antikorupsi, memberantas orang-orang yang dianggap "tak tersentuh" dan kebal hukum, baik di kalangan politisi, pengusaha, dan pejabat. Zulkifli bekerja sama dengan Jaksa Agung Suprapto dan melibatkan pemuda-pemuda eks tentara pelajar. Konon, alasan Zulkifli waktu itu, aparat hukum tidak berjalan dan tidak berfungsi, sehingga ia harus bertindak dengan caranya sendiri dengan membentuk "pasukan khusus". Pada masa itu juga dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Dalam aturan itu muncul istilah korupsi. Peraturan ini dibuat karena Kitab Undang Undang Hukum Pidana dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya praktek korupsi ketika itu.
Pemerintahan Soeharto (1967-1998)
1967: Sebagai penjabat Presiden waktu itu, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 228 tahun 1967 untuk membentuk Tim Pemberantasan Korupsi.
1970: Dibentuk Komisi Empat berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1970. Komisi ini bertugas meneliti dan mengkaji kebijakan dan hasil yang dicapai dalam pemberantasan korupsi.
1971: Untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No 3 Tahun 1971.
1977: Pemerintah mencanangkan Operasi Tertib (Opstib) yang berlanjut dengan Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 1977 tentang pembentukan Tim Operasi Tertib. Tim itu untuk meningkatkan daya dan hasil guna serta meningkatkan kewibawaan aparatur pemerintah dan mengikis habis praktek-praktek penyelewengan dalam segala bentuk.
1980:
1. Pemerintah dan DPR menghasilkan Undang Undang Nomor 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Menurut undang undang itu, baik pemberi maupun penerima bisa didakwa melakukan kejahatan.
2.Pemerintah mengeluarkan peraturan tentang Displin Pegawai Negeri yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 30 tahun 1980.
Pemerintahan B.J. Habibie (1998-1999)
1998:
1. Sidang umum MPR menghasilkan salah satu ketetapan yang secara tegas menuntut lahirnya pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) . Ketetapan itu tertuang dalam Tap MPR No XI/MPR/1998.
2. Pemerintah dan DPR menghasilkan Undang Undang Nomor 28 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
1999:
Pemerintah dan DPR menghasilkan UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai penyempurnaan UU No 3 tahun 1971.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001)
1999:
1. Berdasarkan Keputusan Presiden No 127 tahun 1999, pemerintah membentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara.
2. Terbitnya surat Keputusan Presiden tanggal 13 Oktober 1999 tentang pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara berdasarkan standar pemeriksaan yang telah ditetapkan.
2000:
1. Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 2000 tanggal 10 Maret 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional.
2.Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdiri yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2000. Tim Gabungan ini merupakan cikal bakal dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
3. Terbitnya surat keputusan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan HAM tanggal 7 Juli 2000 untuk menetapkan pembentukan tim persiapan Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diamanatkan UU No 31 tahun 1999.
Pemerintahan Megawati Soekarnoputri (2001-2004)
2001:
1. Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang Undang No 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terpaksa dibubarkan karena adanya putusan hak uji materiil Mahkamah Agung.
2002:
Pemerintah dan DPR mengeluarkan Undang Undang No 30 tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diisyaratkan, pembentukan komisi itu satu tahun setelah terbentuknya undang-undang.
2003:
1. Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No 73 tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tanggal 21 September 2003. Hasil panitia seleksi, diperoleh 10 nama dan diserahkan ke Presiden pada tanggal 6 Desember 2003. Dari 10 nama itu, DPR memilih lima sebagai pimpinan Komisi.
2. DPR pada tanggal 19 Desember 2003 mengesahkan lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi hasil pilihan anggota Komisi Hukum DPR.
3. Indonesia yang diwakili Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menandatangani Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi di New York, Kamis 18 Desember 2003.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan pemerintah khususnya Keputusan Presiden (Keppres) No 11 Tahun 2005, yaitu untuk mensinergikan upaya pemberantasan korupsi, presiden membentuk tim khusus yang dinamai Timtas Tipikor.

B. Formulasi Kebijakan

The stage of the policy process where pertinent and acceptable courses of action for dealing with some particular public problem are identified and enacted into a law (Lester and Stewart,2000).

Formulation is a derivative of formula and means simply to develop a plan, a method, a prescription, in this chase for alleviating some need, for acting on a problem (Jones, 1984).

Dalam kasus korupsi yang ada di Indonesia, formulasi yang ada dalam kenijakan pemberantasan korupsi didasari dengan banyaknya angka pelanggaaran tindak pidana korupsi. Bukan hanya di perusahaan pemerintahan saja namun tindak pidana ini sudah memasuki perusahan lain diluar pemerintahan. Bentuk dari tindak pidana ini pun sudah banyak, sehingga perlunya suatu hal yang menanggulangi tindak pidana ini. Formulasi kebijakan dilakukuan karena pemerintah menilai perlukannya tindakan yang lebih teknis dengan cara menerapkan metode penelitian guna mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk merumuskan permasalahan kebijakan dan mencari berbagai alternatif solusi kebijakan. Untuk tindak pidana korupsi ini pemerintah membuat Undang-Undang, yang mana Undang-Undang merupakan salah satu bentuk dari solusi kebijakan. Undang-undang yang dibuat ini mengatur tindak pidana korupsi ini, agar korupsi tidak lagi bertambah dalam jumlah pidananya.

C. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi. Membicarakan stretegi anti-korupsi tidak terlepas dari membicarakan kebijakan dan implementasi kebijakan anti-korupsi. Berkaitan dengan itu maka persoalan yang berkaitan dengan “Birokrasi” merupakan persoalan yang sangat penting. Kebijakan publik adalah fungsi dan tugas pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan publik. Karena itu, implementasi kebijakan publik sangat ditentukan oleh sejauhmana birokrasi pemerintah, khususnya yang berfungsi dan bertugas sebagai agen pelaksana kebijakan, terstruktur dengan baik. sehingga dengan adanya implementasi yang baik dari sebuah kebijakan maka tujuan untuk memberantas tindak pidana korupsi ini pun dapat dituntaskan.

D. Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan merupakan suatu tanda apakah sebuah kebijakan dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari kebijakan tersebut. Proses kebijakan publik bersifat kompleks, tahap-tahap formulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan adalah saling tergantung (interdependent). Sehingga dalam kasus korupsi ini kebijakan-kebijakan yang ada di evaluasi secara rutin guna mendapatkan tujuannya yaitu berkurangnya angka tindak pidana korupsi ini di Indonesia. Tujuan utama dalam kebijakan merupakan dasar utama untuk mengevaluasi kebijakan. Dengan demikian, kebijakan tindak korupsi yang terjadi akan selalu di perbaharui dengan kebijakan baru karena tujuan yang ingin dicapai belum dapat dicapai.

E. Kesimpulan
Setiap kebijakan publik yang akan diimplementasikan seharusnya sudah dikaji dulu dengan matang sehingga setiap kendala yang akan dihadapi sudah bisa diantisipasi terlebih dahulu. Sama hal dengan kebijakan pemberantasan korupsi ini. Pemerintah harus selalu memrevisi dalam tindakan evaluasi kebijakan agar tujuan untuk memberantas korupsi dapat tercapai.

Minggu, 04 Oktober 2009

Tha Nature of Child Pornography

Kejahatan ini dari waktu-kewaktu sudah seringkali terjadi. Tetapi sayangnya karena kepemilikan dari pornografi anak menjadi illegal dan juga karena sifat dasarnya adalah sebuah aktifitas terselubung. Ini merupakan suatu fenomena baru di akhir abad 20. Oleh karena itu pada pembahasan kali ini kami menampilkan beberapa kasus yang berhubungan dengan sifat dasar dari pornographi anak meliputi bentuk dan factor psikologis dan legal yang berhubungan dengan hal tersebut.

Perspektif legal

Perspektif legal ini berhubungan dengan apa yang didefinisikan dalam legislasi sebagai pornographi anak. Dari perspektif ini, konstitus pernographi anak dapat dirubah dari pengadilan ke pengadilan bergantung pada bagaimana badan legislative nasional dapat membingkai dan menyatakan hukum yang berhubungan dengan pornographi anak. Ketika foto yang telah dilabel pornografi anak ditentukan oleh definisi legal, foto perlu diacuhkan atau tidak dievaluasi karena akan dilihat sebagai hal yang kurang penting untuk focus utama dari penuntutan. Jadi dapat kita catat karena perbedaan yurisdiksi, maka foto dapat dianggap illegal dalam satu yuridiksi atau dapat legal dalam versi lainnya.
Definisi legal dari pornografi anak harus objektif dan ditentukan dalam bagian yang membolehkan aplikasi yang pantas dari proses hak. Disamping itu kita perlu mengurangi kasus-kasus yang kompleks untuk sesuatu yang simple dan diidentifikasi serta menciptakan apa yang dapat dihindarkan dan instrument yang tumpul dalam aplikasi.





Perspektif psikologis

Svedin dan Black mendefinisikan pornografi anak sebagai tulisan atau gambar seperti foto, slide, film, video atau program computer yang dimaksudkan dapat membangkitkan hasrat seksual, daya khayal, dan respon dari orang dewasa. Orang dewasa memiliki rasa ketertarikan kepada anak kecil karena melihat foto-foto anak kecil yang tidak memakai pakaian, dalam keadaan telanjang, secara eksplisit berpose erotis di dalam foto sehingga dapat membangkitkan rasa seksual mereka. Persepktif ini berfokus pada perhatian yang tidak hanya dalam ketidaksahan dalam hal kualitas gambar, melainkan dalam tipe yang disukai oleh pemiliknya, nilai, dan arti gambar yang dimiliki oleh pemiliknya.

A Grading system

Dalam grading system ini terdapat ringkasan 10 kategori system untuk pelevelan antara individu dan gambar pornografi anak. Berikut adalah katagori system, yaitu;
a. Level 1, yaitu indicative. Deskripsinya: gambar-gambar tidak erotis dan tidak secara seksual menampilkan anak-anak yang memakai pakaian dalam, kostum renang, dsb.
b. Level 2, yaitu nudist. Deskripsinya: gambar-gambar anak-anak telanjang atau semi telanjang.
c. Level 3, yaitu erotica. Deskripsinya: secara sembunyi-sembunyi mengambil foto anak-anak yang menampilkan underwear mereka di suatu area bermain atau dalam lingkungan yang aman.
d. Level 4, yaitu Posing. Deskripsinya: dengan sengaja mengambli pose gambar anak-anak secara keseluruhan, berpakaian sebagian, atau telanjang (dimana jumlah, konteks, dan organisasi disesuaikan dengan ketertarikan seksual).
e. Level 5, yaitu erotic posing. Deskripsinya: dengan sengaja mengambil gamabar secara keseluruhan, berpakaian sebagian, anak-anak yang ditelanjangi secara seksual atau pose pendukung.
f. Level 6, yaitu explicit erotic posing. Deskripsinya: menekankan pada area alat kelamin dimana anak-anak telanjang, sebagian atau berpakaian secara keseluruhan.
g. Level 7, yaitu explicit sexual activity. Deskripsinya: menyentuh, bersama-sama dan marturbasi sendiri, oral sex, bersetubuh dengan anak kecil, tidak dengan dewasa.
h. Level 8, yaitu assault. Deskripsinya; gambar dari anak-anak yang sacara subjek untuk memperkosa secara seksual.
i. Level 9, yaitu gross assault. Deskripsinya: nyata sekali gambar cabul dari perkosaan seksual, masturbasi, atau oral sex termasuk dewasa.
j. Level 10, yaitu sadistic atau bestiality. Deskripsinya: gambar-gambar yang menampilkan anak-anak yang dilukai atau sebaliknya sesuatu yang secara tidak langsung menyakitkan dan gambar dimana binatang termasuk dalam beberapa bagian dari tingkah laku seksual dengan seorang anak kecil.

Picture Collections

Gambar pada umumnya terjadi dalam rangkaian, dan rangkaian itu selalu lebih menggunakan perasaan secara implicit atau eksplisit dengan kualitas cerita, atau hubungan thematic. Dalam bentuk cerita memiliki rangkaian gampar seorang anak yang ditampilkan tanpa busana, atau menggunakan tindakan khusus. Karakteristik baru-baru ini dari pornographi anak pada internetmasih berbentuk foto dalam bentuk video gambar. Hubungan thematic dengan gambar, pada satu sisi, merupakan kekuatan untuk menghubungkan pada fakta-fakta pencarian atau dari perbuatan. Rangkaian gambar munkin terfokus pada oral sex, sex diantara anak-anak, atau mungkin gambar dari anak-anak ditampilkan dengan menggunakan pakaian dalam. Kedua hubungan naratif dan thematic menyajikan kualitas utama untuk para kolektor. Kedua istilah ini memungkinkan membangkitkan fantasy, dan dalam istilah pribadi mengikutsetakan anak sebagai korban.
Lokasi sebuah gambar, atau rangkaian suatu gambar, pada level yang sama dalam sistemklasifikasi khusus menguraikan tentang ketidakmungkinan dalam diri sendiri selalu menjadi sebuah keberhasilan dan karakteristik ini cukup dari sebuah falta-fakta dari kumpulan gambar. Isu lain yang terdengar bahwa mungkin terjadi pada factor perasaan yang luas dan kekerasan dari korban seksual. Factor yang mengindikasikan tingginya kekerasn dalam pemberian level yaitu:

1. Jauh dari perhatian, ukuran dan kualitas dari organisasi ini
2. Kehadiran materi baru/khusus.
3. Dalam istilah factor produksi, penjumlahan suggestive text dibandingkan adanya petunjuk dari anak-anak.
4. Umur dari anak. Fakta yang baru diambil (Taylot 1999) menunjukan umur dari anak-anak menjadi korban pornography anak yang baru mengalami kekurangan.

Features Of Contemporary chils Pornography

Satu pendekatan objektif untuk mengerti dalam penyampaian materi yang tersediauntuk digambarkan dalam sebuah informasi yang didapat di dalam dokumen COPINE dari pornografi anak. Dokumen ini menampilkan gambar yang didownload dari posting berita dan oleh karena itu sample dari materi yang didapat harus dipublikasikan. Total dokumen yang didapat memasukan lebih dari 150.000 foto dan 400 lebih video clips. Dari 150.000 gambar, lebih dari setengahnya adalah perempuan. Dari foto perempuan masuk kedalam katagori 7, hamper 7%nya merupakan baru. Kira-kira 26% dari fotographi laki-laki adalah baru. Pada foto baru 40 % merupakan gambar perempuan dan lebih dari 50 % adalah laki-laki, umur mereka berkisar di antara 9-12 tahun.
Selama tahun 2001, foto anak baru yang muncul dalam pengawasan newsgroup oleh proyek CAPINE menafsirkan pada sebuah perkiraan dua anak kecil baru menjadi korban pornography per bulannya. Ini merupakan variable yang tinggi, tapi fakta itu menjelaskan umur dari anak ( terutama wanita) sebagian besar anak muda. Selama 2002, mengalami peningkatan jumlah gambar yang dikomersilkannya dalan website, berawal di amerika selatan atau di eropa timur, gambar itu cendrung pada level 5 dan 6.

Konteks Historis

Bagaimanapun juga, sekitar kurun waktu lima belas tahun sebelum tahun 2001 juga menandakan sesuatu dari titik yang menentukan dalam masalah pornografi anak dalam arti yang berbeda, karena pada sekitar tahun tersebut kecemasan masyarakat tentang pornografi anak mulai menunjukkan ekspresi yang signifikan. Thea Pumbroek meninggal pada tanggal 27 Agustus 1984. Dia berusia 6 tahun ketika meninggal. Dan sepanjang hidupnya, dia pernah terlibat di dalam suatu produksi untuk video porno anak-anak. Dia meninggal karena over dosis akan kokain ketika berada di dalam kamar mandi di salah satu ruangan penginapan, di Amsterdam, ketika akan melakukan suatu sesi pemotretan.Kematiannya menandakan akhir dari suatu fase untuk suatu akses yang relatif mudah dalam memproduksi pornografi anak, yang mana dimulai pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an.
Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, kebanyakan negara Eropa Barat memasuki suatu periode dalam pelonggaran hukum tentang pensensoran, secara khusus merespek tentang pencabulan. Denmark berperan penting pada saat itu, segala bentuk produksi dari pornografi telah disahkan pada bulan Juli 1969, dengan begitu menjadikan dekade pada saat itu terjadi suatu kebebasan didalam aturan hukum tentang pencabulan di seluruh Eropa.
Suatu film yang pertama kali diproduksi sejak saat itu dipasarkan dengan nama ‘Lolita’, setidaknya 36 per 10 menit adegan film telah diproduksi dibawah judul tersebut antara tahun 1971 dan 1979. Film berjudul Lolita dibuat oleh suatu perusahaan yang memiliki nama Color Climax, yang berkantor di Copenhagen. Film ini secara eksklusif melibatkan suatu gambaran dari gadis kecil yang mendapatkan suatu kekerasan seksual, khususnya oleh pria dewasa, tetapi adakalanya terlibat oleh wanita dewasa atau pun dengan anak kecil lainnya. Pemeran gadis itu berusia sekitar 7-11 tahun, tetapi ada yang beberapa lebih muda. Beberapa perusahaan lain dan juga secara individual juga beroperasi di Denmark pada saat itu dalam menjual bahan-bahan pornografi anak-anak.Terdapat suatu toleransi untuk prostitusi secara umum di negara Belanda, dan pornografi secara khusus,
Banyaknya foto-foto pornografi anak yang beredar luas dan bebas di masa sekarang merupakan isu pokok yang muncul di kalangan pemerhati anak. Di tambah berkembang pesatnya teknologi informasi berupa internet, maka jumlah foto-foto yang mengandung pornografi anak semakin hari semakin meningkat dan tentu saja hal tersebut hanya akan menimbulkan siklus ekploitasi seksual terjadap anak. Pendekatan pikologis yang selama ini dikembangkan terhadap masalah pornografi anak sesungguhnya kurang cukup menanggulangi permasalahan tersebut dari perspektif legalistik. Salah satu hambatan dalam merancang UU terkait pornografi anak adalah definisi pornografi itu sendiri. Pada dasarnya proses produksi maupun konsumsi pornografi anak adalah rangkaian kegiatan yang rumit, oleh sebab itu hal tersebut membutuhkan perhatian luas dari berbagai elemen yang ada dalam masyarakat.

-dhanielsimamora

Crime Policy The Real Warm Crime

Kejahatan merupakan hal yang ditakuti oleh negara dimanapun negara tersebut ada. Setiap harinya kejahatan yang ada di tiap negara selalu menunjukan angka yang semakin bertambah hal ini disampaikan oleh media yang mana media adalah salah satu alat bantu untuk melihat kejahatan. Pembangunan penjara merupakan hal yang dibuat untuk melihat orang-orang yang melakukan kejahatan. Pada kenyataannya, kejahatan yang terjadi tidak semakin buruk namun tidak semakin baik atau dapat dikatakan angka yang ada tidak berubah. Untuk membuat angka kejahatan semakin berkurang bukan hanya dengan menggunakan sistem peradilan pidana yang ada karena sistem peradilan pidana tidak berjalan dengan baik. Banyak hal yang disarankan diberikan untuk mengurangi angka kejahatan ini, antara lain kita membutuhkan lebih banyak lagi polisi, lebih banyak lagi penjara, lebih lagi membuat hukuman yang berat, dan hal yang lainnya. Amerika merupakan negara yang akan lihat sebagai kenyataan dalam hal kejahatannya. Hal yang akan dilihat adalah apakah benar terjadinya ketidakbenaran dalam data kejahatan atau lebih kompleks, atau kebijakan yang dibuat merupakan kebijakan yang telah dibentuk berdasarkan kepentingan pribadi.

Angka kejahatan: Angka tidak menceritakan keseluruhan

Banyak hal yang terjadi dalam masyarakat yang sebenarnya adalah kejahatan namun tidak dilaporkan sebagai kejahatan. Hal yang mempengaruh mengapa hal tersebut terjadi karena sulitnya untuk ditangani. Sebagai contoh, beberapa orang menyangka bahwa daerah sub-urban ataupun pedalaman lebih tinggi angka kejahatannya, namun kenyataannya pusat kota merupakan hal yang lebih berbahaya dalam hal kejahatan. Hal-hal ini tidak lepas dari sistem peradilan pidananya dan juga ada kaitanya dengan media yang ada. Sebelum menyelidiki kasus, kita harus tetap memikirkan beberapa fakta awal:
1. Angka kejahatan lebih tinggi dari tahun 1950an.
2. Pembunuhan menurun.
3. Korban kejahatan serius ada diangka 16 persen.
4. Kejahatan serius dilaporkan kepada polisi menurun.
Statistik yang ada diatas hanya melaporkan beberapa kategori kejahatan di dua dekade terakhir.





Dua Pengitung Kejahatan

Kita dapat menemukan perbedaan besar antara persepsi publik dan kenyataan kejahatan di Amerika Serikat. Di Amerika serikat terdapat dua cara untuk mengitung kejahatan, yaitu: Uniform Crime Reports (UCR) dan National Crime Victimization Survey (NCVS). UCR ditabulasikan oleh FBI, hal ini berdasarkan hasil penghitungan orang yg dipenjarakan disetiap penjara yang ada di negara tersebut. Penghitungan menggunakan data dari kepolisian ini karena hanya penghitungan dari kepolisian yang dapat dilihat secara detail dan tersusun. UCR mengitung kejahatan yang banya dilihat oleh media dan politisi.

Namun, banyak kriminolog yang mengatakan bahwa penghitungan UCR tidak tepat karena mereka membesar-besarkan kejahatan yang meningkat namun pada kenyataannya ada beberapa hal yang salah pendapat pada angka-angka kejahatan yang selalu meningkat. Alasan mengapa UCR mengatakam bahwa kejahatan menunjukan kenaikan, yaitu: pertama, komputer mencatat tambahan angka berdasarkan laporan polisi. UCR juga menunjukan kecacatan karena ada beberapa cara bagaimana polisi membuat tabulasi untuk statistik. Berdasarkan kecatatan tersebut, UCR menyiapkan pehitungan yang akurat dari angka pembunuhan.

Banyak kriminolog percaya bahwa National Crime Victimization Survey lebih akurat. NCVS pada dasarnya lebih mempertimbangkan yang dipercaya karena NCVS menggunakan teknik pengambilan suara yang ilmiah terhadap korban kejahatan. NCVS tidak mengitung kejahatan pembunuhan karena korban dari tindakan ini tidak dapat diwawancarai.

Ancaman dari violent crime

Sangat penting untuk membedakan antara kejahatan biasa dan kejahatan kekerasan lebih spesifik. Violent crime mencederai manusia. Namun nonviolent crime mencederai harta benda. Banyak kekerasan di masyarakat tidak menciderai hukum pidana. Violent crime adalah tingkah laku dari kekerasan yang menciderai hukum pidana yang disetujui oleh kongres. Banyak kejahatan di Amerika bukanlah non violent. Violent crime adalah masalah inti pada pusat kota.

Kebijakan kriminal di Amerika Serikat

Tidak seperti negara-negara di Eropa, Amerika Serikat tidak ada kabinet khusus yang membuat kebijakan kriminal. Setiap legislatif mengatur kebijakan kriminalnya masing-masing.Lebih dulu kebijakan-kebikakan merubah, kebanyakan negara dibeberapa tahun belakangan ini mengadopsi penghitung ini. Meskipun susah untuk beberapa alasan untuk membedakan secara benar parameter dari Kebijakan Kejahatan Nasional, nasional lebih dulu digunakan lebih dari lima belas tahun terakhir. Banyak uang yang digunakan untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan kriminal ini. Uang tersebut digunakan untuk diberikan kepada pemerintah, sehingga kebijakan yang dibuat seakan-akan benar hasil dari diskusi para politisi.

Pelanggar Nonviolent mengisi ekspansi Penjara

Sejak tahun 1980, Amerika Serikat telah mencapai tahap terbesar dan tercepat dalam ekspansi populasi penjara. Kebanyakan dari kenaikan populasi penjara tidak dihitung untuk pelanggar kejahatan. Alasan pelanggar nonviolent memenuhi penjara adalah karena kita melanjutkan untuk memperluas definisi dari kejahatan. Karena pada masa lalu hanya beberapa hal yang dinamakan sebagai kejahatan namun sekarang hal yang dinamakan kejahat sudah lebih banyak.

Umpan dan Perubahan atau Bait dan Switch

Pada peradilan pidana, "bait" adalah rakyat takut kepada violent crime. "switch" terjadi saat publik melawat kejahatan dengan membangun lebih banyak lagi penjara dan setelah itu diisi dengan pelanggar nonviolent. Konsekuensi kebijakan ini adalah lebih banyaknya penggunaan uang untuk pengurusan penjara dan hal-hal lain.

Three Strikes and You're Out

Three Strikes and You’re Out adalah hal yang sering digunakan dalam mengkontrol kejahatan. Meskipun banyak mengatakan bahwa Three Strikes and You’re Out adalah baik namun Three Strikes and You’re Out belum diuji dan akan mengakibatkan bencana.

Banyak kebijakan kriminal lainnya yang dibuat oleh pemerintah yang dibuat guna mengurangi tingkat kejahatan yang ada dinegaranya masing-masing. Dalam pembuatanya kebijakan-kebijakan tersebut pemerintah memperhatikan kebijakan yang sebelumnya telah dibuat apakah ada hal yang harus diperbaiki atau tidak, masalah pendanaan juga diperhatikan dalam pembuatan kebijakan kriminal.

-dhanielsimamora

Peran SPP dalam Kebijakan Kriminal

Sistem peradilan pidana atau yang sering disebut sebagai SPP merupakan suatu mekanisme yang ada untuk menyelesaikan sengketa-sengket yang ada di dalam masyarakat. SPP adalah sebuah lembaga social yang memiliki perbedaan dengan organisasi atau lembaga formal lainnya:
1. Personil yang non-interchangeable dari tiadanya wewenang utama.
2. Anggaran yang terpisah dan tidak berhubungan.
3. Batasan yuridis yang berbeda.
4. Berbedanya asal sumber daya manusia, tiap lembaga merekrut personil dari pekerjaan atau profesi yang berbeda.
5. Pola pemilihan personil yang berbeda dari satu lembaga dengan lembaga lain.
6. Variasi besar keterlibatan masyarakat dengan pengambilan keputusan pada setiap lembaga.
Sistem peradilan pidana ini terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Komponen-komponen SPP, antara lain:
- Polisi.
- Jaksa atau Penuntut Umum.
- Pengadilan.
- Lembaga permasyarakatan.
Komponen tambahan dalam Sistem Peradilan Pidana ini adalah lembaga bantuan hukum atau pengacara. Lembaga-lembaga dari Sistem Peradilan Pidana tersebut berperan sebagai, crime containment sistem, dan crime reducing sistem.
Komponen-komponen Sistem Peradilan Pidana dapat membuat suatu kebijakan yang berkaitan dengan kebijakan kriminal, karena menurut saya setiap komponen dalam sistem peradilan pidana ini memiliki otoritas terhadap badannya sendiri walaupun mereka melakukan hal yang saling berkaitan maksudnya adalah kebijakan yang dibuat oleh satu komponen akan berdampak dengan komponen lain untuk membuat kebijakan yang hamper sama dengan kebijakan yang dibuat oleh komponen lain. Contoh kebijakan yang dibuat oleh sistem peradilan pidana adalah kebijakan tentang Restorative Justice. Kebijakan Restorative process merupakan suatu kebijakan yang dibuat untuk mengganti kebijakan tentang penghukuman yang dilakukan oleh peradilan pidana yang sebelumnya memiliki kebiijakan tentang penghukuman.
Restorative justice dibuat untuk memecahkan masalah yang, dalam berbagai bentuk melibatkan korban, pelaku, jaringan sosial mereka(korban dan pelaku), justice agencies, dan komunitas mereka. Restorative programmes berpusat pada prinsip bahwa perilaku kriminal tidak hanya mencederai hukum, tetapi juga menyakiti korban dan masyarakat. Segala usaha untuk memberikan konsekuensi terhadap perilaku kriminal haruslah, jika mungkin menempatkan pelaku sebagai bagian dari anggota yang terluka sambil menyediakan pertolongan dan dukungan bagi korban dan pelaku .
Perubahan kepada proses Restorative Justice
Ahli dari pengadilan anak-anak memiliki kekuatan untuk merubah peradilan anak ke dalam bentuk yang lebih seimbang dan memperkuat sistem peradilan. Melalui perkembangan peraturan baru, membuat prioritas yang baru, dan mengarahkan sumber daya, ahli peradilan ini dapat:
- Membuat pelayanan yang dibutuhkan untuk korban kejahatan.
- Memberikan kesempatan kepada korban untuk dilibatkan dan dimasukan.
- Secara aktif, dilibatkannya anggota dari komunitas, termasuk korban kejahatan secara individu dan penjahat, dalam pembuatakn keputusan dan membawa hasil keputusan untuk menyelesaikan isu dan menyerahkannya kepada komunitas.
- Membangun hubungan antara anggota komunitas.
- Memberikan anak-anak tersebut kesempatan dan dorongan untuk mengambil yang menjadi tanggung jawabnya.
- Secara aktif, memberikan kesempatan kepada penjahat anak-anak ini dalam memperbaiki apa yang telah dilakukaknya.
- Menambah keahlian dan kemampuan anak-anak tersebut.

-dhanielsimamora

EKSISTENSI LEMBAGA POLRI, TUPOKSI DAN REGULASI POLRI

UU NO 2 TAHUN 2002 tentang Kepolisian RI
Pasal 2 :
Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 4
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Pasal 13 Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
2. Menegakkan hukum; dan
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 14, dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang;
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15 dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :
a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menganggu ketertiban umum;
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratuf kepolisian;
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. Mencari keterangan dan barang bukti;
j. Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional;
k. Mengeluarkan surat izin dan/ atau surat keterangan yang di perlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Polri (Kepolisian Republik Indonesia)
Polri terdiri atas satuan-satuan fungsional yang dikategorikan sebagai berikut :unsur pimpinan, unsur Pembantu pimpinan atau Staff, unsur pelaksana Staff, unsur pelaksana Pendidikan dan Staff Khusus, unsur pelaksana Utama Pusat.

Fungsi dan peranan Polri
Konsep fungsi selalu digunakan dalam kaitannya dengan konsep sistem, yaitu dalam kaitannya dengan unsur-unsur dalam sebuah sistem yang berada dalam hubungan fungsional atau saling mendukung dan menghidupkan, yang secara bersama-sama memproses masukan untuk dijadikan keluaran. Sedangkan konsep peranan selalu dilihat dalam kaitannya dengan posisi-posisi yang dipunyai individu-individu dalam sebuah struktur yang satu sama lainnya berada dalam suatu kaitan hubungan peranan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam struktur tersebut (Suparlan, 2000).
Dalam negara modern yang demokratis, polisi mempunyai fungsi pelayanan keamanan kepada individu, komuniti (masyarakat setempat), dan negara. Pelayanan keamanan tersebut bertujuan untuk menjaga, mengurangi rasa ketakutan dari ancaman dan gangguan serta menjamin keamanan di lingkungannya secara berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas yang dilayaninya.
Fungsi Polri adalah untuk menegakkan hukum, memelihara keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan mencegah terjadinya kejahatan serta memeranginya. Menurut Suparlan (1999) fungsi polisi adalah sebagai berikut :
• Polisi menegakkan hukum dan bersamaan dengan itu menegakkan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu menegakkan keadilan dalam konflik kepentingan yang dihasilkan dari hubungan antara individu, masyarakat dan negara (yang diwakili oleh pemerintah) dan antar individu serta antar masyarakat;
• Memerangi kejahatan yang menganggu dan merugikan masyarakat, warga masyarakat dan negara;
• Mengayomi warga masyarakat, masyarakat dan negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang menganggu dan merugikan.

Tiga fungsi polisi tersebut harus dilihat dalam perspektif individu, masyarakat dan negara, masing-masing merupakan sebuah sistem dan secara keseluruhan adalah sebuah sistem yang memproses masukan program-program pembangunan untuk menghasilkan keluaran berupa kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan. Dalam proses-proses yang berlangsung tersebut, fungsi polisi adalah untuk menjaga agar keluaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dan menjaga agar individu, masyarakat dan negara yang merupakan unsur-unsur utama dan sakral dalam proses-proses tersebut tidak terganggu atau dirugikan.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, fungsi dan peran Polri dalam masyarakat dilihat sebagai pranata atau institusi yang ada dalam masyarakat Indonesia dan peranan Polri dilihat sebagai peranan dari petugas Polri dalam masyarakat Indonesia.

Menurut Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam pasal 1 butir 1 sampai dengan 4 menjelaskan:
1. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum kepolisian.
4. Peraturan Kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa : Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Tujuan Polri dalam pasal 4 dijelaskan : Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Diskresi
Diskresi merupakan kewenangan polisi dalam melaksanakan pemolisian. Diskresi merupakan tindakan yang diambil untuk tidak melakukan tindakan hukum dengan tujuan untuk kepentingan umum, kemanusiaan, memberikan pencerahan atau pendidikan kepada masyarakat.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia halaman 237, diskresi adalah kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi.

Community Policing

Konsep pemolisian (Policing), pada dasarnya adalah segala usaha atau upaya untuk memelihara keamanan, pencegahan dan penaggulangan kejahatan, melalui pengawasan atau penjagaan dan tindakan untuk memberikan sanksi atau ancaman hukum (Garmire dalam Steadman : 1972, Spitzer 1987; Shearing 1992 dalam Reiner 2000). Menurut Kenney (1975: ) "basically policing is concerned with acts against the safety persons or property". Pemolisian dapat dijelaskan sebagai cara pelaksanaan tugas operasional kepolisian yang mencakup tingkat manajemen atau tingkat pelaksana. Dan merupakan pengejawantahan citra,nilai dan aspek sosial budaya yang diharapkan baik dari sisi kepolisian atau masyarakatnya sebagai produk dari berbagai interaksi yang didukung adanya kebutuhan, kepentingan dan kewenangan.


Pemolisian dapat bervariasi, yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Pertama adalah pemolisian konvensional (pemolisian tradisional) yang menekankan pada pemolisian yang bersifat reaktif (reactive policing) dalam rangka pencapaian kondisi keamanan dan keteriban . Jenis-jenis pemolisian yang berada dalam kelompok ini adalah mencakup : pemolisian ala pemadam kebakaran (fire brigade policing), pemolisian para militer (paramilitary policing), pemolisian tipe putar nomor telpon (dial-a-cop policing), pemolisian reaksi cepat (rapid response policing), pemolisian profesional dan pemolisian berorientasi penegakan hukum (enforcement-oriented policing).
b. Kedua adalah pemolisian modern, yang mempraktekan gaya pemolisian yang berorientasi atau menekankan pada penuntasan masalah (problem solving policing), kegiatan yang sepenuhnya berorientasi pada pada pelayanan atau jasa-jasa publik (public service policing), pemolisian dengan mengandalkan pada sumber daya setempat (resource based policing) yang dikenal dengan Pemolisian Komuniti (Community Policing).
Dalam masyarakat sipil yang modern, setiap masyarakat dituntut untuk berproduksi dan berguna atau setidak-tidaknya dapat menghidupi dirinya sendiri serta dapat saling menghidupi satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka yang tidak berproduksi dianggap sebagai beban atau benalu masyarakat. Tindak kejahatan atau kerusuhan dapat merusak atau menghancurkan produktifitas dan dapat menghancurkan masyarakat. Dalam masyarakat modern tugas polisi adalah menjaga agar jalannya produksi yang menyejahterakan masyarakat tersebut jangan sampai terganggu atau hancur karena tindak kejahatan dan kerusuhan Tercakup dalam pengertian menjaga jalannya produktivitas dan tujuan utama dalam upaya menjamin keberadaan manusia dan masyarakatnya yang beradab (Suparlan, 1999).
Keberadaan dan fungsi polisi dalam masyarakat adalah sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat yang bersangkutan untuk adanya pelayanan polisi (Suparlan, 1999). Fungsi polisi adalah untuk menjaga agar keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan menjaga agar individu, masyarakat, dan negara yang merupakan unsur-unsur utama dalam proses tidak dirugikan. Menurut Rahardjo, 2000 :"Sosok Polisi yang ideal di seluruh dunia adalah polisi yang cocok masyarakat".
Dengan prinsip tersebut diatas masyarakat mengharapkan adanya perubahan dari polisi yang antagonis (polisi yang tidak peka terhadap dinamika tersebut dan menjalankan gaya pemolisian yang bertentangan dengan masyarakatnya) menjadi polisi yang protagonis (terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia untuk mengakomodasikannya ke dalam tugas-tugasnya) atau yang cocok dengan masyarakatnya. Harapan masyarakat kepada polisi adalah sosok polisi yang cocok atau sesuai dari masyarakatnya dan hal tersebut tidak dapat ditentukan oleh polisi sendiri. Dapat dikatakan bahwa polisi adalah cerminan dari masyarakatnya, masyarakat yang bobrok jangan berharap mempunyai polisi yang baik (Rahardjo, 1999).
Dari bahasan di atas fungsi polisi bukanlah semata-mata sebagai alat penguasa atau hanya untuk kepentingan pejabat pemerintah. Di dalam menciptakan tertib hukum dan keamanan, polisi tidak lagi dapat menggunakan kekuasaan atau alat paksa yang bersifat otoriter militeristik. Dalam masyarakat yang otoriter militeristik mempunyai ciri-ciri kekejaman dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri (Van den Berge, 1990, dalam Suparlan, 2001). Hampir di semua negara yang otoriter, gaji pegawai negeri sipil, polisi dan militer amat kecil, yang besar adalah fasilitas dan pendapatan atau tunjangan yang diterima karena jabatan yang didudukinya (Suparlan, 2001). Hal tersebut di dalam organisasi kepolisian dapat menimbulkan tumbuh dan berkembangnya sistem yang tidak fair dan orientasi para anggotanya bukan pada pelayanan masyarakat

-dhanielsimamora

Polisi Modern

Meningkatnya angka kejahatan dan gangguan ketertiban umum serta adanya tingkah laku yang melanggar norma hukum seperti mabuk-mabukan yang di buat oleh disebutkan oleh kaum elit dan mereka menilai perlunya dibentuk suatu pranata pengendalian sosial yang resmi, maka dari itu Polisi dibuat sebagai pranata pengendalian sosial yang resmi mengurusi hal-hal yang dianggap oleh kaum politik tidak sesuai dengan mereka. Kaum elit membentuk polisi sebagai alat mereka untuk menidak orang yang tidak berasal dari kalangannya dan melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Fungsi polisi pada masa dulu sebelum dibentuknya pranata pengendalian sosial yang resmi adalah sebagai pengaman raja. Mereka digunakan untuk melindungi raja dari berbagai masalah perang ataupun dengan kata lain untuk menjamin keselamatannya. Fungsi tersebut sudah tidak dapat digunakan kembali karena kaum elit yang membentuknya untuk mengendalikan kehidupan sosial.

Polisi modern adalah bagian dari struktur birokrasi dengan segala konsekuensinya (Satjipto Rahardjo, 1998). Polisi modern merupakan suatu bentukan baru dari pranata pengendalian sosial dan meninggalkan fungsi-fungsi yang sudah lama dan mengembalikan fungsi pengendalian tersebut ketangan polisi bukan lagi di tangan rakyat. Polisi masa lalu adalah “polisi total” atau pemolisian total, oleh karena itu masih menyatu dengan masyarakat. Polisi modern mempunyai hubungan yang erat terhadap masyarakat, namun dengan perkembangan industrialisasi dan teknologi membuat kedekatan yang dimiliki oleh polisi sebelumnya menjadi jauh. Selain itu, polisi modern memiliki karakter yang tajam dalam menangani kasus sosial.

Sejarah berdirinya polisi modern memiliki kaitan dengan lahirnya polisi kota London tahun 1829 dan juga ada kaitanya dengan nama Sir Robert Peel. Berdirinya polisi kota London tidak jauh berbeda dengan beririnya polisi modern, karena polisi kota London ada pada saat ambruknya system kemasyarakatan abad ke-19 oleh karena tidak mampu lagi melakukan kontrol sosial terhadap kota London yang menjadi kota industri. Pada dasarnya Penegakan hukum memberikan tanggung jawab bagi pemelihara kontrol sosial. Tanggung jawab yang diberikan tersebut meliputi:
1. Preventing
2. Detecting
3. Arresting
Semakin besar represif yang dilakukan oleh penegakan hukum maka semakin kecil tingkat keberhasilan dari penegakan hukum menjalankan tanggung jawabnya.

Kepolisian yang diberikan tanggung jawab untuk mengurangi kejahatan, menangani kejahatan ini memiliki era dalam tindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Era ini terjadi karena pada saat tersebut fungsi dari pihak kepolisian memiliki cirri yang khas dengan kondisi yang ada pada saat itu. Ada banyak era tindakan kepolisian, namun ada tiga bagian besar dalam era tindakan kepolisian, yaitu:
1. Era politik
Dalam era politik ada beberapa tindakan kepolisian yang khas, antara lain:
- Ikatan yang kuat antara Polisi dan Politisi.
Sehingga terjadinya kontrol yang kuat dari politisi dan tidak adanya profesionalitas dari kerja kepolisian karena kaum elit (dalam hal ini adalah politisi) selalu menginginkan hal-hal yang sesuai dengan tingkah laku mereka.
- Berfungsi sebagai watchman – menjaga agar klas-klas yang menyebabkan kerusuhan tetap dalam pengawasan.
Kelas-kelas yang menyebabkan kerusuhan adalah kelas yang ada dibawah dan politisi menginginkan mereka selalu di awasi agar tidak mengganggu mereka.
- Diskresi Polisi yang sangat luas

2. Era Profesional
Pergerakan reformasi secara progresif
Dua Tujuan Utama
- Memotong hubungan antara Polisi dan Politisi
- Membuat Polisi lebih profesional dan meningkatkan pelayanan bagi kelompok miskin
Elemen-elemen kebijakan profesional
1. Kesatuan Polisi harus terpisah dari Politik
2. Petugas harus terlatih, disiplin dan terorganisasi secara ketat
3. Hukum harus ditegakkan secara adil
4. Kesatuan Polisi harus menggunakan teknologi baru
5. Prsosedur penerimaan personel harus berdasarkan kemapuan
6. Tugas utama dari tindakan kepolisian adalah memberantas kejahatan

3. Era Komunitas
- Pemecahan masalah adalah tugas yang paling baik dilakukan di tingkat ketetanggaan
- Lingkup kerja lokal Polisi bersama penduduk adalah tim pemecahan masalah yang terbaik
- Broken windows thesis

Misi dari Kepolisian, antara lain:
• Semua Kepolisian harus memiliki Pernyataan Misi.
• Pernyataan Misi pada umumnya menentukan tujuan dari eksistensinya.
• Pernyataan Misi adalah deklarasi tertulis atau Tujuan.
• Pernyataan Misi menjelaskan bagaimana agensi akan mencapai tujuannya.
• Pernyataan Misi akan menjelaskan fokus Kepolosian apakah pada “crime fighting or identifying problems” Pernyataan Misi dikembangkan dengan persetujuan perwakilan masyarakat.
• Masyarakat dapat mengenali jenis pelayanan yang diharapkan dari masyarakat.
• Mengembangkan Pernyataan Misi yang mencerminkan komitmen agensi pada masyarakat menjadi sanat berarti dan positif serta menciptakan Kepolisian yang lebih efektif.

Tugas Kepolisian berlawanan dengan service
• Dapatkah Kepolisian menjadi proactive atau reactive
- Kepolisian pada umumnya dibagi menjadi dua isu ini.
• Setiap Kepolisian memiliki petugas yang siap atau reaktif terhadap kejadian pelanggaran atau kejahatan (911 calls)
• Kepolisian melihat “community –policing” sebagai tugas serupa dengan dari pekerja sosial.
• Petugas akan selalu meneruskan tugasnya menegakkan hukum (menangkap penjahat).
• Kepolisian melanjutkan fokusnya pada kejahatan-kejahatan biasa seperti pencurian, penodongan, perampokan dan penyerangan, dan kejahatan yang ditargetkan menyumbang ke arah negative police-community relations.
• Bagaimanapun Kepolisian gagal untuk menginvestigasi pengusaha karena kecurangan pembayaran pajaknya, monopoli harga, dan sebagainya (WCC).
• Kepolisian cenderung konsentrasi pada fokus pada orang miskin tuna wisma, pedagang asongan, pedagang kaki lima.

Pengertian Polisi antara lain:
• Secara tradisional, polisi adalah kelompok yang sangat homogen:
- Laki-laki, tingkat pendidikan relatif tinggi, memilki latar belakang militer.
• Masa kini, petugas polisi menjadi kelompok yang lebih heterogen :
- Kepolisian memilki lebih banyak petugas polisi perempuan dan minoritas.
- Pendidikan relatif lebih tinggi.
- Memiliki sedikit pengalaman militer.
- Polisi juga tertarik untuk membantu masyarakat seperti juga menegakkan hukum dan ketertiban.
- Perubahan-perubanan tertentu dalam kepolisian adalah bersifat mendasar bagi filosofi community policing.
- Semakin tinggi pendidikan petugas polisi semakin mereka dibekali kemapuan untuk menyelesaikan masalah-masalah komunitas.

-dhanielsimamora

Konflik Etnis

Berikut ini adalah arti dari Konflik Etnis yang di dapat dari Internet dengan memasukan kata kunci “Konflik Etnis adalah” dan sumber-sumber lain, diantaranya:
- Konflik etnis: adalah perselisihan politik, ekonomi, sosial, budaya atau wilayah antara dua atau lebih kelompok etnis.
- Konflik etnis adalah konflik terkait dengan permasalahan-permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara dua komunitas etnis atau lebih.
- konflik etnis adalah konflik terkait denan permasalahan-permasalahan mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial antara dua komunitas etnis atau lebih.
Pengertian-pengertian diatas merupakan sebagian kecil dari pengertian konflik etnis yang sebenarnya. Secara garis besar konflik etnis merupakan konflik yang menjadi turunan dari konflik sosial. Namun, konflik sosial ini dikatakan sebagai konflik etnis apabila terjadi didalam suatu negara dan terjadi dalam suatu kelompok masyarakat.

Untuk melihat dan menelaah bagaimana konflik etnis dapat terjadi, atau bagian apa yang harus dibenahi dapat menggunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1. Freedom (Bebas)
2. Human right
3. Social context (masyarakat)

Freedom
Dalam artian singkat freedom merupakan kebebasan yang dimiliki oleh seorang individu. Mereka dapat memilih apa yang dapat mereka kerjaan dan tidak mereka kerjakan, kebebasan ini dipergunakan untuk dapat mengatualisasikan diri mereka masing-masing. Dengan adanya freedom yang dimiliki oleh masing-masing orang di dalam masyarakat maka freedom sangat berkaitan erat dengan human right. Beberapa pertanyaan akan muncul mengapa terdapat hubungan antara human right dengan freedom. Analoginya adalah apabila seseorang akan mendapatkan kebebasannya sedangakan kebebasaan yang ada sudah tidak ada lagi, maka ia akan mengambil sebagaian dari kebebasan yang menjadi hak orang lain untuk mendapatkan kebebasan yang dia inginkan.

Dengan menggunakan pemahaman teori konflik untuk memandang hubungan freedom dengan human right, adalah semakin tinggi freedom yang dimiliki oleh seseorang maka akan semakin rendah human right yang dimiliki oleh orang-orang yang berada disekelilingnya, begitu juga sebaliknya. Berbeda dengan teori konvensional yang mengatakan apabila freedom semakin tinggi maka semakin tinggi pula human right yang dimiliki. Sehingga apabila menggunakan teori konflik dapat disimpulkan bahwa human right bukan miliki dari perseorangan saja melainkan bersifat komunal (kolektivistik).

Freedom dan human right dapat menjadi sentral dari bahasan masalah yang ada, seperti:
1. Right based morality
2. Culture
3. Duties
4. Peran sosial

Human right terdiri dari:
1. General
2. Abstrak
3. Konteks

Jadi apabila disimpulkan, konflik etnis merupakan bagian dari konflik sosial, yang mana subjek dari pembahasannya adalah masyarakat. Suatu konflik dapat terjadi dapat dilihat dari aspek freedom, human right, social context. Hal ini saling berhubungan satu dengan yang lain, social context merupakan suatu hal yang mengatakan bahwa tidak adanya freedom yang benar terjadi, karena orang akan hidup dalam suatu hal yang namanya social context.


-dhanielsimamora

Konflik Sosial

Konflik secara singkat terjadi karena tidak adanya kepastian hukum yang mengatur sehingga tidak adanya aturan yang mengatur hubungan manusia satu dengan yang lain. Namun masih banyak pengertian-pengertian mengenai konflik tersebut, antara lain:
1. Suatu perjuangan untuj memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan hal yang lain, hal yang lain ini tidak hanya untuk menguntungkan seseorang saja namun konflik terjadi untuk mengambil hal yang dapat menundukan pesaing mereka.
2. Proses sosial yang bersifat antagoistik yang terkadang tidak bisa diserasikan karena kedua belah pihak yang berhubungan memiliki tujuan, sikap, nilai yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga menimbulkan konflik itu sendiri.
Konflik yang ada ataupun sering di lihat mungkin konflik yang menggunakan kekerasaan atau perperangan, namun kita harus tau konflik yang terjadi akan mendaji konflik yang tidak ada kekerasan atau perperangan apabila ada pengelolaan yang baik dan sesuai dengan prosedur yang ada.

Konflik yang kita ketahui mungkin hanya yang dapat dilihat secara kasat mata, ternyata banyak konflik yang terjadi namun tidak terlihat sebagai suatu konflik. Untuk dapat mengetahui apakah yang terjadi adalah konflik atau bukan kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab dari konflik. Sumber penyebab konflik, antara lain:
• Konflik Data
Konflik data disebabkan masalah yang menyangkut keabsahan dan penggunaan metode analisis data yang dipergunakan untuk mengambil keputusan. Contoh dari konflik data adalah konflik mengenai hasil Pemilu( Pemilihan Umum). Penyebab konflik data adalah kurangnya informasi, salah informasi (misinformation), perbedaan pandangan mengenai apa yang relevan, perbedaan memaknai data, perbedaan prosedur penilaian.


• Konflik Hubungan Sosial
Konflik ini terjadi dalam kerangka jalinan atau interaksi sosial antarpribadi, antarkomunitas, dan antarkelompok. Konflik ini terjadi disebabkan oleh emosi-emosi yang kuat, salah persepsi atau stereotip, komunikasi yang buruk atau salah komunikasi, perilaku negatif yang berulang-ulang.
• Konflik Nilai
Konflik terjadi akibat perbedaan sistem nilai atau keyakinan yang dianut oleh pihak-pihak terkait. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan kriteria dalam mengevaluasi ide-ide atau perilaku, tujuan-tujuan nilai yang ekslusif secara intrinsik, perbedaan cara hidup, ideologi, dan Agama.
• Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan terjadi akibat persaingan kepentingan yang dirasakan menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi atau yang secara nyata memang tidak berkesesuian. Konflik ini disebabkan oleh kompetisi yang dirasakan atau nyata, kepentingan Substantif, kepentingan Prosedural, kepentingan Psikologis.
• Konflik Struktural
Terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses kontrol terhadap sumberdaya, seperti: tanah, tambang, sumber air, dan hutan. Konflik struktural ini disebabkan karena adanya pola-pola perilaku atau interaksi yang destruktif, ketimpangan kontrol, kepemilikan, atau distribusi sumberdaya, faktor geografi, fisik, atau lingkungan yang menghalangi kerjasama, kendala waktu, ketimpangan kekuasaan dan otoritas.

Dari sumber lain menyebutkan ada beberapa hal Faktor penyebab konflik , yaitu:
1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. Demikian banyak hal yang dapat dicontoh, terdapat kelompok yang merasa paling kuat, paling benar sehingga kurang menghargai kelompok lain atau perbedaan.

2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menganggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian diekspor guna mendapatkan keuntungan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terdapat perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka. Sering terjadi pada industri-industri yang sedang berkembang seperti banyak terdapat di Indonesia, bahkan dalam pengamatan terdapat konflik antara perusahan dengan pemerintah sehingga banyak perusahana besar dan terkenal menghentikan produksinya dan memindahkan ke negera lain.

4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik memiliki tingkatan permasalahan, maksudnya setiap penyebab terjadinya konflik tidak mendapatkan hal yang sama penanganan konfliknya. Konflik data merupakan konflik yang tidak perlu adanya penanganan yang seriius, namun konflik ini harus diselesaikan dengan baik agar tidak berkembang menjadi konflik serius. Setelah itu konflik hubungan sosial, konflik nilai, konflik kepentingan pun perlu adanya penanganan yang berbeda urutan tersebut adalah urutan yang berdasarkan tingkat keseriusannya, dan konflik structural adalah konflik yang sangat memerlukan penanganan yang baik karena akan menimbulkan dampak yang buruk apabila tidak ada penanganan yang serius. Jadi, urutan penyebab konflik dari yang tidak penting hingga yang sungguhan adalah :
1. Konflik Data
2. Konflik Hubungan Sosial
3. Konflik Nilai
4. Konflik Kepentingan
5. Konflik Struktural



Konflik massal pada umumnya, dapat dibedakan menjadi:
1) Konflik horizontal adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Contoh: konflik antar kampung/ desa/ wilayah karena isu etnis, isu aliran kepercayaan, isu ekonomi, isu solidaritas, isu ideologi dan isu sosial lainnya.
2) Konflik vertikal adalah konflik antara pemerintah/ penguasa dengan warga masyarakat. Contoh: konflik ideologi untuk memisahkan diri dari wilayah RI, konflik yang dipicu oleh perlakuan yang tidak adil dari pemerintah berkaitan dengan pembagian hasil pengolahan sumber daya alam, kebijakan ekonomi yang dinilai merugikan kelompok tertentu, dampak pemekaran wilayah, dampak kebijakan yang dinilai diskriminatif, dan sebagainya

Contoh konkrit masalah konflik yang cukup serius baik yang bersifat vertikal ataupun horizontal yang terjadi pada akhir-akhir ini:
1) Konflik bernuansa separatisme: konflik di NAD, Maluku dan Papua;
2) Konflik bernuansa etnis: konflik di Kalbar, Kalteng dan Ambon;
3) Konflik bernuansa politis: konflik akibat isu kecurangan Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah yang berakibat penyerangan dan pengrusakan;
4) Konflik bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di selat Madura, konflik antar kelompok preman, konflik antar kelompok pengemudi, konflik antar kelompok pedagang;
5) Konflik bernuansa solidaritas kelompok: tawuran antar wilayah, tawuran supporter sepak bola
6) Konflik isu kebijakan pemerintah: penggusuran tanah, BBM, dan sebagainya.

Jenis-jenis konflik menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
• konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
• konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
• konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)