Selasa, 19 Mei 2009

dibalik fenomena korupsi

In particular, the relationship between organisms and the physical environment (Crook et al. 2001, Li et al. 2001, Thompson et al. 2001), and between predators and prey (Schneider and Piatt 1986, Rose and Leggett 1990, Muotka and Penttinen 1994, Fauchald et al. 2000) depend on the spatial scale of analysis.

Secara khusus, hubungan antara organism dan lingkungan fisik (Crook et al. 2001, Li et al. 2001, Thompson et al. 2001), dan antara pemangsa dengan apa yang mereka mangsa (Schneider and Piatt 1986, Rose and Leggett 1990, Muotka and Penttinen 1994, Fauchald et al. 2000) tergantung pada ruang yang diukur sebagai skala analisa. (terjemahan bebas)

Dalam jurnal diatas menjelaskan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan merupakan hal yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Tidak ada hal yang timbul bukan karena suatu hal, sama halnya dengan suatu kasus yang ada di masyarakat dapat dipastikan adanya faktor yang ada dibelakang hal tersebut. Pada saat ini penulis menghubungkan hal ini dengan kasus korupsi sebagai manifestasi dari sebuah Teori Differential Association. Timbulnya fenomena ini tergantung dari pola yang ada dalam masyarakat tersebut, apabila hal tersebut tersedia dalam masyarakat tidak mustahil akan muncul kasus-kasus berikut yang berhubungan.

Walaupun kini kita tahu bahwa kasus korupsi merupakan salah satu tindakan yang bukan hanya menyimpang namun sudah menjadi tindakan yang melanggar aturan hukum yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Republik Indonesia Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi penulis melihat tingkah laku ini memiliki pola yang sesuai dengan Teori Differential Association. Kasus korupsi adalah sebuah kasus yang sudah dapat dikatakan lekat kepada orang-orang yang bekerja, walaupun tidak menutup kemungkinan orang yang tidak bekerjapun dapat melakukan tindakan yang sama, jumlah yang lebih besar yang dapat menjadi pembeda mengapa orang yang bekerja lebih dilihat tingkat tindak korupsinya. Penjabaran tentang kaitan antara rumusan yang ada dari Teori Differential Association oleh Sutherland dengan tingkat tindak korupsi akan dibahas dibawah ini:

1.Tingkah laku kejahatan dipelajari.
Korupsi adalah sebuah kejahatan, namun kejahatan yang dilakukan bukan oleh orang-orang yang ada di dalam kalangan masyarakat bawah, melainkan orang-orang yang telah memiliki status yang tinggi. Proses yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan korupsi ini adalah proses belajar. Orang yang melakukan tindakan ini biasanya melihat oleh orang yang berada lingkungan sekitar tempatnya berkerja ataupun atasan di kantor. Melihat bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang lain tersebut tidak ada resiko ataupun orang tersebut dapat menjalaninya dengan baik sehingga mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut, maka secara sadar maupun tidak sadar orang yang melihat lingkungan sekitarnya seperti itu, orang tersebut akan mempelajari tindakan korupsi.

2.Tingkah laku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang-orang lain melalui proses interaksi.
Interaksi sesama karyawan yang terjadi diantara mereka, membuat orang yang belum melakukan korupsi tertarik untuk melakukan hal yang sama. Hal dilihat oleh orang tersebut melalui proses interaksi dapat menstimulasi pikiran orang untuk melakukan hal yang serupa.

3.Bagian utama dari mempelajari tingkah laku kejahatan terjadi di dalam kelompok intim.
Tindak korupsi yang banyak terjadi didalam kalangan status tinggi, biasanya orang-orang kantoran ataupun kaum intelek. Hal yang pertama yang membuat orang tersebut melakukan adalah hal yang diliatnya pada lingkungan ditempat kerjanya.
Contohnya ada seorang sekertaris ataupun staff yang lain meliha bahwa ada rekan kerjanya yang bekerja didalam satu divisi yang sama melakukan tindak korupsi di tempatnya bekerja, orang yang melihat kejadian tersebut akan melihat bagaimana orang yang melakukan tindak korupsi tersebut dapat melakukan korupsi, dan bagian-bagian utama yang dapat membuat tindakan yang dilakukan tidak diketahui.

4.Ketika tingkah laku kejahatan dipelajari meliputi:
a.Teknik melakukan kejahatan, yang kadang-kadang sulit, kadang-kadang mudah.
b.Arah khusus dari motive, dorongan, rasionalisasi, dan sikap-sikap.
Hal yang diperhatikan dan dipelajari oleh orang lain dengan mencontoh orang yang melakukan tindak korupsi ini ada bagaimana cara orang tersebut dapat dengan rapih menyimpan kejahatan kepada orang lain. Dan alasan orang tersebut untuk melakukan korupsi, apakah orang tersebut

5.Arah khusus dari motive dan dorongan-dorongan dipelajari dari definisi hukum sebagai menguntungkan atau tidak menguntungkan.

6.Orang menjadi jahat karena pengaruh definisi yang menyetujui pelanggaran hukum lebih kuat daripada pengaruh definisi yang tidak menyetujui pelanggaran hukum.

7.Asosiasi yang berbeda-beda dapat berbeda menurut frekuensinya, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya.

8.Proses belajar tingkah laku kejahatan melalui asosiasi dengan pola kejahatan dan pola anti kejahatan meliputi semua mekanisme belajar yang terdapat dalam cara belajar hal lain.

9.Meskipun tingkah laku merupakan ekspresi kebutuhan dan nilai umum, namun kejahatan tidak dapat dijelaskan dengan kebutuhan dan nilai umum tersebut, karena tingkah laku bukan kejahatan juga mencerminkan kebutuhan dan nilai umum yang sama.


KESIMPULAN

Dari penjelasan yang ada di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1.Rumusan Differential Association Theory yang dikemukan oleh Edwin H. Sutherland dapat dikaitkan dengan kasus tindak korupsi. Kaitannya adalah
a.Adanya proses belajar dalam melakukan tindak korupsi pada lingkungan tempat kerja.
b.Hal yang dipelajari berasal dari orang-orang yang dekat dengan pelaku.
c.Ada motive yang dipelajari dalam proses ini, kebutuhan hidup yang dibutuhkan oleh pelaku dapat menjadi dasar orang melakukan tindak korupsi tersebut.
d.Banyak orang yang melakukan tindak korupsi berasal dari lingkungan yang sama.

2. Terdapat kenaikan tingkat kejahatan korupsi ini yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat pada bagian latar belakang masalah yang ada di dalam tulisan ini. Dan hal tersebut semakin meningkat tiap tahunnya, sehingga hal ini dapat penulis simpulkan sebagai hal yang dapat dipelajari karena adanya pertambahan tingkat kejahatan korupsi ini.

3. Tindakan korupsi ini banyak dilakukan dalam lingkungan pekerjaan yang berstatus sebagai pegawai negeri ataupun pegawai swasta. Selain itu, mereka terkadang tidak mengetahui secara langsung bahwa apa yang mereka telah lakukan sebagai tindakan korupsi.

Selasa, 12 Mei 2009

What Should..???

Apa yang merti gw lakukan menjelang UAS ini ya Tuhan???

Berdoa??

Belajar??

Bermain??

Tidur??

atau apa????

- jeritan anak yang sedang mau UAS..
hahaha.....

Sabtu, 09 Mei 2009

PASKIBRAKA 2005

gw mau terima kasih banget buat senior-senior gw yang telah mempertemukan kami dalam 1 angkatan yang peuh warna..

gw sayang bgt sama PASKIBRAKA DKI JAKARTA 2005!

i love you guys..
i feel like i have second family in the world!


thx yah buat hari ini!!

Jumat, 08 Mei 2009

WELCOME!

itu salah satu kata yang gw baca dalam koran ibu kota kemarin pagi disela-sela mata kuliah yang menurut gw membosankan.

WELCOME PA!!

kata tersebut yang tertulis untuk mengilustrasikan saat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (nonaktif) masuk dalam sel (penjara) bersama-sama dengan orang-orang yang dulu mungkin karena beliau masuk kedalam tempat yang sama.

sungguh kesian nasib mu pak!
kenapa yang gw ga terlalu yakin kalo beliau ikut dalam kasus yang menyeretnya masuk sel tersebut. ada kepentingan orang-orang besar (pejabat pemerintahan) yang sengaja membuat beliau masuk ke dalam sel juga.

pesan gw sih.. take it easy lah pak!!
yang benar akan terbukti ko!(tp ini tergantung dari pengacara sih..hahha...)

kesian sekali nasib mu!

gay??
transgender??
lesbi??
biseks??

LGBT??

sekarang memang sudah banyak yang merasa hal itu biasa yang ada di masyarakat, khususnya Jakarta. paham demokratis sudah banyak yang dianut oleh masyarakat. mereka sudah biasa apabila memiliki teman, sahabat, saudara, atau bahkan pacar mereka adalah seorang dari LGBT.

namun, dipihak yang berbeda dengan beberapa orang yang masih meLABEL orang-orang tersebut adalah "sampah masyarakat" atau orang yang ga punya keahlian apa-apa!

poor there yang masih liat LGBT sebagai orang yang tidak artinya!
banyak yang masih mereka tahu tentang mereka. mereka juga punya banyak prestasi yang melebihi dari orang yang menilai mereka rendah! bahkan ada beberapa pihak yang tidak menerima mereka untuk bekerja di tempatnya.!

sungguh menderita kedudukan status sosial mereka!

dimanakah posisi anda?? menolak?? biasa aja?? menerima??

so, gw cuma mau bilang "jangan lihat orang karena sex orientasinya berbeda namun dari apa yang telah mereka telah lakukan!"

Rabu, 06 Mei 2009

nasib mu korban!

Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) universal yang dideklarasikan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948, masyarakat dunia memperingatinya dengan berbagai kegiatan. Dari mulai kegiatan ilmiah, kegiatan sosial, hingga unjuk rasa. Deklarasi HAM merupakan tonggak pengakuan manusia terhadap hak-hak yang disandangnya sebagai makhluk Tuhan yang berakal budi. Deklarasi ini terdiri atas dua kelompok besar HAM, yaitu HAM Sipil Politik di bawah perhatian dari International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) dan HAM Ekonomi Sosial Budaya di bawah naungan International Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). HAM sipil politik berisi perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara, antara lain hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, serta hak kebebasan untuk berpikir, berpolitik, dan beragama.


Kovenan Internasional Hak Sipil Politik diratifikasi lebih dari 141 negara anggota PBB. Di samping itu, ada pula kelompok HAM Ekonomi Sosial Budaya yang diratifikasi 142 negara, termasuk Indonesia . Adapun bentuk konkret HAM Ekonomi Sosial Budaya antara lain hak untuk bebas memilih pekerjaan dan mencari nafkah, hak untuk berpendidikan serta hak menjalankan dan melestarikan kebudayaan masing-masing suku dan etnik. Pelanggaran terhadap kedua kelompok HAM tersebut diatur dalam berbagai konvensi internasional. Kovenan yang telah ada antara lain, Kovenan Antipenyiksaan, Diskriminasi Ras, Antikekerasan terhadap Wanita dan Anak, Perlindungan Budaya dan Hak Cipta, serta Indikasi Geografis dan Kearifan Lokal. Indonesia telah ikut serta meratifikasi kovenan-kovenan tersebut.


Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia adalah hak dari korban. Namun, tampaknya selama ini komitmen bangsa-bangsa di dunia terpusat pada pelaku pelanggaran HAM yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang maupun negara bukan terhadap korban. Korban seolah-olah terlupakan, padahal jika ada pelaku pasti akan ada pula korban. Terjadinya ketidakseimbangan perhatian masyarakat terhadap perlakuan kepada pelaku dan korban akan menimbulkan bentuk ketidakadilan yang baru yang bermuara pada pelanggaran HAM yang baru pula. Meskipun perlu diakui bahwa penjatuhan sanksi pada pelaku pelanggaran HAM di satu sisi juga berarti perlindungan HAM terhadap korban pelanggaran di sisi yang lain. Akan tetapi, kecenderungannya dalam praktik tetap saja akan merugikan keberadaan korban, khususnya korban kejahatan. Sebagai contoh, perkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang laki-laki terhadap seorang wanita. Pada saat terjadinya peristiwa, para pemerkosa lebih mendapat perhatian dalam proses penanganan perkara. Penyidik sibuk mencari tahu siapa yang harus dihukum lebih berat atau yang lebih ringan. Penyidik berusaha mengonstruksi TKP (tempat kejadian perkara) dengan menitikberatkan pada upaya membuktikan tindak pidana perkosaan. Dengan mengabaikan situasi dan kondisi dari korban perkosaan. Tidak jarang pertanyaan yang diajukan penyidik pada korban perkosaan, justru menambah derita wanita yang diperkosa. Padahal, sebagai korban perkosaan sangat berat trauma yang dipikul oleh wanita tersebut. Pada kesempatan saat ini penulis akan mengemukakan suatu gambaran dimana korban pencurian yang tidak mendapatkan ganti rugi dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas hilangnya barang mereka.


Victim precipitation in armed and unarmed robbery was defined in terms of "temptation-opportunity" situation in which the victim clearly had not acted with reasonable self-protective behavior in handling money, jewelry, or other valuables. The orientation was to personal victims, but applicability to institutions was not ruled out.


Dalam jurnal dituliskan bahwa dalam hal perampokan atau pencurian bukan karena kelalaian dari korban namun ada pihak lain yang sengaja untuk menjadikan orang tersebut korbanya. Sebelumnya saya akan memberikan suatu contoh tentang tidak adanya kompensasi yang diberikan oleh pihak perusahaan security terhadap korban.

Bandar Udara Cengkareng Rawan
Para Pelaku Umumnya Pemain Lama
Jumat, 2 Mei 2008 | 00:50 WIB
tangerang, kompas - Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang, rawan tindak kejahatan. Menukar tas penumpang hingga pencurian barang dalam mobil di area parkir adalah contohnya. Pengguna bandara menjadi sasaran empuk para penjahat yang umumnya adalah ”muka” atau pemain lama.
Beragamnya tindak kejahatan di Bandara Soekarno-Hatta terungkap dari hasil penangkapan tersangka pelaku kejahatan oleh Polres Metro Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu (30/4).
Menurut Kepala Polres Bandara Soekarno-Hatta Komisaris Besar Guntur Setyanto, polisi tak hanya menangkap 18 calo mata uang asing dan tiket pesawat. Polisi juga menangkap penggeser (pencuri) tas penumpang, pencongkel pintu mobil yang diparkir di area bandara, serta pemeras penumpang taksi.
Polisi berhasil menyita uang dollar AS, dirham, real, dan ringgit dari tangan calo, totalnya mencapai Rp 89 juta. Polisi juga berhasil menyita tas-tas yang berisi komputer jinjing, pemutar DVD, dan kamera video.
Calo mata uang asing umumnya menjadikan TKI sebagai sasaran karena kurang paham tentang nilai tukar uang asing. Sementara pencuri tas menyasar pengguna bandara yang sedang shalat di mushala dan penumpang bus Damri.
”Pencuri tas biasa memilih sasaran tas berisi komputer jinjing. Pelaku itu pura-pura naik bus lalu meletakkan tas miliknya di sisi tas sasaran. Pelaku itu lalu menukar tas tersebut,” ujar Kasat Reskrim Polres Bandara Ajun Komisaris Taufik Hidayat.
Inspektur Satu Tri Agus dari polres setempat menambahkan, pelaku kejahatan di bandara umumnya muka lama. ”Di antara mereka sudah pernah ditangkap lalu dihukum, tetapi beroperasi lagi di sini,” katanya.
Administratur Bandara Soekarno-Hatta Herry Bakti, Kepala Bandara Hariyanto, dan Kepala Polres Bandara mengakui kondisi itu. Hariyanto menyerahkan pengamanan ruang publik kepada polisi. Namun, Guntur menyatakan, dari kacamata UU, ia berpendapat pengelola bandara belum punya sistem keamanan.
Oleh sebab itu, Herry Bakti menilai, kondisi itu harus segera diakhiri. Pihaknya segera memperbaiki pengamanan bandara bersama instansi terkait.


Dari kasus yang terdapat diatas menjelaskan bahwa adanya saling lempar tanggung jawab antara Administratur Bandara Soekarno-Hatta dengan pihak lainnya. Tidak adanya tanggapan yang mengedepankan nasib dari korban atau penyelesaian yang lain yang tetap menjadikan korban sebagai orang yang harus diperhatikan. Tidak ada peraturan yang dapat mengutungkan posisi korban dari kasus diatas. Korban hanya disalahkan karena tidak menjaga barang-barang miliknya, dan pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas hal ini tidak melakukan hal yang membantu, mereka hanya menanyakan bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan apa saja barang yang hilang. Hal ini adalah tindakan yang biasanya dilakukan untuk memperlihatkan bahwa adanya kesungguhan untuk menggantikan apa yang menjadi kerugian korban. Walaupun adanya aturan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi menurut UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 35 menyatakan bahwa kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa pengembalian hak milik. Pengembalian ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Dalam UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak menjabarkan lebih detail mengenai kompensasi dan restitusi terhadap korban. Untuk itu, masih dibutuhkan peraturan pelaksanaan dalam penerapannya. Namun hak yang seharusnya diterima tetap tidak diperhatikan. Karena kerugian yang didapatkan oleh korban merupakan salah satu bentuk tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan dan mereka seharusnya melakukan tindakan preventif yang melindungi korban.