Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) universal yang dideklarasikan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948, masyarakat dunia memperingatinya dengan berbagai kegiatan. Dari mulai kegiatan ilmiah, kegiatan sosial, hingga unjuk rasa. Deklarasi HAM merupakan tonggak pengakuan manusia terhadap hak-hak yang disandangnya sebagai makhluk Tuhan yang berakal budi. Deklarasi ini terdiri atas dua kelompok besar HAM, yaitu HAM Sipil Politik di bawah perhatian dari International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) dan HAM Ekonomi Sosial Budaya di bawah naungan International Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). HAM sipil politik berisi perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik warga negara, antara lain hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, serta hak kebebasan untuk berpikir, berpolitik, dan beragama.
Kovenan Internasional Hak Sipil Politik diratifikasi lebih dari 141 negara anggota PBB. Di samping itu, ada pula kelompok HAM Ekonomi Sosial Budaya yang diratifikasi 142 negara, termasuk Indonesia . Adapun bentuk konkret HAM Ekonomi Sosial Budaya antara lain hak untuk bebas memilih pekerjaan dan mencari nafkah, hak untuk berpendidikan serta hak menjalankan dan melestarikan kebudayaan masing-masing suku dan etnik. Pelanggaran terhadap kedua kelompok HAM tersebut diatur dalam berbagai konvensi internasional. Kovenan yang telah ada antara lain, Kovenan Antipenyiksaan, Diskriminasi Ras, Antikekerasan terhadap Wanita dan Anak, Perlindungan Budaya dan Hak Cipta, serta Indikasi Geografis dan Kearifan Lokal. Indonesia telah ikut serta meratifikasi kovenan-kovenan tersebut.
Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia adalah hak dari korban. Namun, tampaknya selama ini komitmen bangsa-bangsa di dunia terpusat pada pelaku pelanggaran HAM yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang maupun negara bukan terhadap korban. Korban seolah-olah terlupakan, padahal jika ada pelaku pasti akan ada pula korban. Terjadinya ketidakseimbangan perhatian masyarakat terhadap perlakuan kepada pelaku dan korban akan menimbulkan bentuk ketidakadilan yang baru yang bermuara pada pelanggaran HAM yang baru pula. Meskipun perlu diakui bahwa penjatuhan sanksi pada pelaku pelanggaran HAM di satu sisi juga berarti perlindungan HAM terhadap korban pelanggaran di sisi yang lain. Akan tetapi, kecenderungannya dalam praktik tetap saja akan merugikan keberadaan korban, khususnya korban kejahatan. Sebagai contoh, perkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang laki-laki terhadap seorang wanita. Pada saat terjadinya peristiwa, para pemerkosa lebih mendapat perhatian dalam proses penanganan perkara. Penyidik sibuk mencari tahu siapa yang harus dihukum lebih berat atau yang lebih ringan. Penyidik berusaha mengonstruksi TKP (tempat kejadian perkara) dengan menitikberatkan pada upaya membuktikan tindak pidana perkosaan. Dengan mengabaikan situasi dan kondisi dari korban perkosaan. Tidak jarang pertanyaan yang diajukan penyidik pada korban perkosaan, justru menambah derita wanita yang diperkosa. Padahal, sebagai korban perkosaan sangat berat trauma yang dipikul oleh wanita tersebut. Pada kesempatan saat ini penulis akan mengemukakan suatu gambaran dimana korban pencurian yang tidak mendapatkan ganti rugi dari pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas hilangnya barang mereka.
Victim precipitation in armed and unarmed robbery was defined in terms of "temptation-opportunity" situation in which the victim clearly had not acted with reasonable self-protective behavior in handling money, jewelry, or other valuables. The orientation was to personal victims, but applicability to institutions was not ruled out.
Dalam jurnal dituliskan bahwa dalam hal perampokan atau pencurian bukan karena kelalaian dari korban namun ada pihak lain yang sengaja untuk menjadikan orang tersebut korbanya. Sebelumnya saya akan memberikan suatu contoh tentang tidak adanya kompensasi yang diberikan oleh pihak perusahaan security terhadap korban.
Bandar Udara Cengkareng Rawan
Para Pelaku Umumnya Pemain Lama
Jumat, 2 Mei 2008 | 00:50 WIB
tangerang, kompas - Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang, rawan tindak kejahatan. Menukar tas penumpang hingga pencurian barang dalam mobil di area parkir adalah contohnya. Pengguna bandara menjadi sasaran empuk para penjahat yang umumnya adalah ”muka” atau pemain lama.
Beragamnya tindak kejahatan di Bandara Soekarno-Hatta terungkap dari hasil penangkapan tersangka pelaku kejahatan oleh Polres Metro Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu (30/4).
Menurut Kepala Polres Bandara Soekarno-Hatta Komisaris Besar Guntur Setyanto, polisi tak hanya menangkap 18 calo mata uang asing dan tiket pesawat. Polisi juga menangkap penggeser (pencuri) tas penumpang, pencongkel pintu mobil yang diparkir di area bandara, serta pemeras penumpang taksi.
Polisi berhasil menyita uang dollar AS, dirham, real, dan ringgit dari tangan calo, totalnya mencapai Rp 89 juta. Polisi juga berhasil menyita tas-tas yang berisi komputer jinjing, pemutar DVD, dan kamera video.
Calo mata uang asing umumnya menjadikan TKI sebagai sasaran karena kurang paham tentang nilai tukar uang asing. Sementara pencuri tas menyasar pengguna bandara yang sedang shalat di mushala dan penumpang bus Damri.
”Pencuri tas biasa memilih sasaran tas berisi komputer jinjing. Pelaku itu pura-pura naik bus lalu meletakkan tas miliknya di sisi tas sasaran. Pelaku itu lalu menukar tas tersebut,” ujar Kasat Reskrim Polres Bandara Ajun Komisaris Taufik Hidayat.
Inspektur Satu Tri Agus dari polres setempat menambahkan, pelaku kejahatan di bandara umumnya muka lama. ”Di antara mereka sudah pernah ditangkap lalu dihukum, tetapi beroperasi lagi di sini,” katanya.
Administratur Bandara Soekarno-Hatta Herry Bakti, Kepala Bandara Hariyanto, dan Kepala Polres Bandara mengakui kondisi itu. Hariyanto menyerahkan pengamanan ruang publik kepada polisi. Namun, Guntur menyatakan, dari kacamata UU, ia berpendapat pengelola bandara belum punya sistem keamanan.
Oleh sebab itu, Herry Bakti menilai, kondisi itu harus segera diakhiri. Pihaknya segera memperbaiki pengamanan bandara bersama instansi terkait.
Dari kasus yang terdapat diatas menjelaskan bahwa adanya saling lempar tanggung jawab antara Administratur Bandara Soekarno-Hatta dengan pihak lainnya. Tidak adanya tanggapan yang mengedepankan nasib dari korban atau penyelesaian yang lain yang tetap menjadikan korban sebagai orang yang harus diperhatikan. Tidak ada peraturan yang dapat mengutungkan posisi korban dari kasus diatas. Korban hanya disalahkan karena tidak menjaga barang-barang miliknya, dan pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas hal ini tidak melakukan hal yang membantu, mereka hanya menanyakan bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan apa saja barang yang hilang. Hal ini adalah tindakan yang biasanya dilakukan untuk memperlihatkan bahwa adanya kesungguhan untuk menggantikan apa yang menjadi kerugian korban. Walaupun adanya aturan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi menurut UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 35 menyatakan bahwa kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa pengembalian hak milik. Pengembalian ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Dalam UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak menjabarkan lebih detail mengenai kompensasi dan restitusi terhadap korban. Untuk itu, masih dibutuhkan peraturan pelaksanaan dalam penerapannya. Namun hak yang seharusnya diterima tetap tidak diperhatikan. Karena kerugian yang didapatkan oleh korban merupakan salah satu bentuk tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan dan mereka seharusnya melakukan tindakan preventif yang melindungi korban.
1 komentar:
gw baru kali ini berkunjung ke blog ini... tapi jujur, gw suka bgt tulisan2 lo...
Posting Komentar