Kamis, 23 April 2009

Ketika semua akan terungkap!

Tulisan ini saya ambil dari Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com

Sketsa IX Kematian David: Belang-Belonteng Kesaksian Ketenteng

Di tengah berita Pemilu meninggi, untung mulai bunyi berita meninggalnya David. Namun celakanya, kok, Menlu, seakan tiada empati, menyalahkan keluarga: jalan sendiri!?

AIR MANCUR di bundaran Gran Indonesia, di bilangan Jl. Thamrin, Jakarta itu melengkung mengalir. Waktu sudah menjelang Magrib di Selasa, 14 April 2009. Sosok Ganang Tidarwono Soedirman, cucu kandung Alm., Panglima Besar Soedirman, masih berbicara dengan kawannya di meja sebelah saya di Cafe Dome. Saya menghadap bundaran menyimak Jakarta senja: bus Transjakarta sesak, Metromini reyot, PPD eks Jepang bertulisan kanji, taksi, dan ojek, jalanan bergerak merayap. Di pelataran Plaza Indonesia, ada penjual kopi sase bersepeda, kontras dengan cappuccino hangat di meja saya di ruang bertamu wangi rapi jali.

“Saya masuk lho.”

“Hanya gerbong besarnya saja yang payah,” ujar Ganang menyalami saya.

Masuk lho, yang dimaksud Ganang adalah, lolos sebagai anggota legislatif hasil Pemilu, 9 April 2009, dari Partai Republikan, peserta Pemilu Nomor 21. Hingga saat saya menuliskan ini, perolehan suara partai baru yang mengusung Sri Sultan HB X sebagai Presiden itu, baru mengantar dua saja caleg ke DPR. Sayangnya, jika partai ini tidak memenuhi kuota 2,5% minimum suara, maka mereka tak bisa menempatkan wakil ke DPR.

Ganang sudah menunjukkan, bahwa dari daerah pemilihannya, di Jawa Tengah, publik merindukan sosok baru, muda. Apalagi sosoknya yang masih berdarah Soedirman, masih dikenang banyak orang sebagai pahlawan yang dekat di hati rakyat. Bahkan untuk mengambil mangga rakyat pengganjal perut dalam bergerilya di era perjuangan silam, Soedirman emoh. Pejuang tahu, mana hak, mana batil, termasuk arif berlaku sportif, mempersilakan pihak lain jika memang mumpuni membawa bangsa maju. Itu benang merah pejuang dulu dan kini.

Perkenalan saya dengan sosok muda satu ini, karena Ganang acap menanggapi kritis tulisan-tulisan saya di Presstalk.info, kini di blog-presstalk.com. Sehingga ketika saya melakukan polling di situs internet www.partaionline.org, maka namanya terpilih menjadi calon presiden. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa situs internet itu benar menempatkan posisi Ganang. Itu artinya, kendati bukan sosok yang berkibar di media, tidak pula di pusat, dia punya basis massa, khususnya di daerah gerilya Soedirman. Saya cermati, hampir di semua kota besar di Indonesia, Jl. Soedirman, menjadi landmark kota, ruas panjang dan lebar.

Sejak kembali dari Singapura Minggu malam, 12 April 2009 pekan ini, setelah sepekan memverifikasi misteri kematian David Hartanto Widjaja, mahasiswa cerdas NTU asal Indonesia, saya menyimak semua media berberita penuh Pemilu; urusan data, perolehan suara, bacot tak seirama dengan laku, bahkan ihwal caleg gila.

Saya kemudian bersyukur, akhirnya media main stream mulai meluangkan tempat berita soal kematian sosok anak yang pernah menjadi wakil Indonesia dalam olimpiade matematika, Meksiko, 2005 itu. Sosok yang pernah memenangkan lomba matematikas ketika duduk di tingkat sekolah menengah.

PAGI 9 April 2009 di Singapura. Telepon geggam saya berdering. Di seberang, suara William Hartanto Widjaja, kakak kandung almarhum David, yang sudah berada di Singapura, menanyakan soal kehadiran saya ke Kedubes. Kami berjanji pukul 10, sekalian bertemu beberapa pejabat kedutaan RI.

Tidak sebagaimana hari sebelumnya, arah menuju Chatsworth Road, di nomor 7 Kedubes RI bermarkas, tak bisa dilewati taksi. Ramai orang berjalan kaki. Para pemilih silih berganti datang contrang-contreng.

Secara kebetulan di dalam Kedubes, saya melihat ada beberapa mahasisa Indonesia yang bekerja sukarela membantu jalannya Pemilu. Salah satunya, Hardian.Setiawan, akrab disapa Achong. Ia adalah kawan baik almarhum David. Ketika orangtua David ke kampus NTU, mengurusi jasad anaknya 2 Maret 2009 lalu, Achong ikut mendampingi. Dari Achong pula saya dapat nama-nama list mahasiswa NTU yang satu tugas akhir dengannya, di antaranya: Ong Ming Yong, Le Phi Hung, Ong Da Wei, Chu Xinqi, Tan Yonghan Bernard, Teo Meng Hwee.

Sekitar pukul 11, keluarga David datang. Di halaman Kedubes yang memanjang sekitar seperempat lapangan bola itu, Lie Khiun, Ibu David langsung menyapa Achong.

“Saya mau nanya sama kamu Chong, apa sesungguhnya yang terjadi dengan David?”

Nada Ibu David meninggi.

Saya perhatikan wajah Achong agak gugup.

Saya timpali dengan pertanyaan: apakah benar Achong bertemu saksi mata orang Iran?

“Benar, saya bicara dengannya, dan mahasisawa Iran itu mengatakan melihat David di lantai di atas di jemabatan kaca, dan bilang, ‘Should I jump?’”

Saya tatap mata Achong.

Sungguh?

“O, o, sebenarnya saya nggak keemu dengan orang Iran itu, yang ketemu adalah Nolan Fanini, kawan mahasiswa Indonesia juga?”

Yang benar kamu Chong?

“Kami bertemu berdua.”

Melihat jawaban yang berubah itu, emosi saya sempat meninggi. Saya melontarkan kalimat tak nyaman ke Achong, mohon maaf buat Achong, saya sempat menyenggol dagumu. Untung saya tak terpancing memukul - - sebuah laku yang tak pantas, malu saya melihat diri sendiri di kaca petang harinya. Itulah noraknya saya. Ampun!

Saya lalu meminta Achong memanggil Nolan ke Kedubes. Begitu Achong menelepon, Nolan di seberang sana, dia memang dalam perjalanan ke KBRI. Yayan Mulyana, Sekretaris Pertama Kedubes, mempersilakan kami menunggu di dalam kantor, bahkan ruangan kerjanya sendiri harus direlakannya, mengumpulkan kami yang mulai bersusana tak nyaman itu.

Begitu Nolan tiba, ia tak berkenan bicara dengan saya, kecuali hanya kepada keluarga.

Lagi, saya harus menahan perasaan.

Di ruangan, akhirnya hanya ada ibunya David, Hartono Widjaja, ayah dan Wiliam, kakak David.

Lebih satu jam kami menunggu di ruang tamu.

Nolan ke luar ruangan tidak menyalami dan menyapa saya. Achong masih berkenan bertegur sapa. Saya sempat mengatakan bahwa berkuliah sesungguhnya bukan sebatas menuntut ilmu, tetapi merumuskan logika pikir menjadi bersegitiga terbalik, mengerecut bagi wadah bercermin laku hakiki berintegriti.

Bersekolah sesungguhnya berguna memahami segala yang umum, sebaliknya juga segala yang khusus, terutama soal kemanusiaan dan kehidupan. Nah, di NTU, sebagaimana diakui satu mahasiswanya, waktu telah membenamkan ke satu hal saja: pelajaran; menonton film bermutu, pertunjukan budaya, menyimak resital piano, atau sekelebat menyihat pameran lukisan, sekadar kongkow di lepau kopi dengan kawan senegeri, menjadi kemewahan yang seakan menjauh digapai.

Ketika di Jakarta, sekembali kami dari Singapura, tepatnya, Selasa malam 14 April, di kediaman keluarga David di bilangan Tubagus Angke, Lie Khiun, ibu kandung David, menegaskan kembali ke saya bahwa, “Ketika ke Singapura mengurus jasad David, 2 Maret lalu, Rektor NTU, Su Guaning sudah menyebutkan bahwa ada saksi mahasiswa asal Iran yang melihat David lompat bunuh diri.!”

Nah, lho!

Adakah mahasiswa Iran itu?

Yang pasti rilis NTU kemudian juga berubah dan bergeser. Tanggal 3 April 2009, rilis NTU terbaru yang saya punya - - sesuai juga dengan yang diperoleh Kedubes RI Singapura - - menjelaskan kematian David sudah bertambah dan bergeser lagi ke arah memojokkan sosok David prestasinya anjlok, yang kemungkinan membuat diri David depresi.

Ketika saya menemui Christian Shandy, kawan David main game Dota, alumni NTU, di 7 April 2009 di sebuah kawasan industri di mana dia bekerja kini, dengan jernih Shandy mengurutkan grade nilai lulusan NTU kini. Yakni di tingkat first dengan rata-rata nilai 4,5, second upper 4, second lower 3,5, third classes 3 dan pass with merit di bawah 3.

“David berada di third class,” ujar Shandy.

“Dan itu bukan angka yang jelek.”

Shandy yakin itu.

Apalagi kemudian saya menemukan alumni NTU asal Indonesia yang dengan nilai 1,9 saja, diterima bekerja di sebuah kontraktor yang menggawangi fasilitas negara Singapura. Sehingga logika memojokkan prestasi itu menjadi tak masuk akal adanya. Apalagi kemudian, rata-rata ditemukan di lapangan, anak-anak kreatif yang paham akan sesuatu yang bernilai ekonomi berdasarkanm ilmu dan keahliannya, umumnya, tidak terlalu berorientasi bernilai berponten tinggi.

Karenanya saya menyebut belang-belonteng rilis NTU, itu.

Plus pula keterangan yang ketenteng saya bawa pulang harus terus dipertanyakan, sampahkah, loyangkah atau benaran emas permatakah?

Dalam kerangka pikir itulah, seharusnya lima Sketsa. baru saya produksi, hasil sepekan di Singapura lalu, saya tunda dulu.

Baru di dua Sketsa, dengan ini, saya harus kembali lagi Singapura. Dan berangkat ke Singapura bisa terjadi karena dukungan pembaca Sketsa, yang datang ke kediaman saya, mendukung ongkos. Sehingga mulai malam nanti, saya akan berada Singapura. kembali.

Siang ini, 16 April 2009, pukul 11.45, bersama Lie Khiun dan Hartono Widjaja, kami tampil dalam Topik Siang, di ANTV.. Dari studio televisi ini dilangan Kuningan, Jakarta Selatan, saya menyimak jawaban Menlu Hasan Wirajuda, “Orang tua David jalan sendiri ..”

Tidak ada komentar: