Sabtu, 24 Oktober 2009

Polisi vs Reformasi

II. 1. Reformasi POLRI

Reformasi dalam pemerintahan juga mempengaruhi sistem yang ada dalam tubuh Kepolisian. Kepolisan Republik Indonesia harus mengikut sistem yang telah ditentukan untuk pemerintah. Reformasi POLRI yang bertujuan untuk mengubah citra polisi dari yang militeristik ke polisi sipil (civil police) yang demokratik, professional, dan akuntabel dalam pelaksanaannya berpacu dengan tugas rutin. Akibatnya reformasi yang diharapkan dapat mengubah citra POLRI sesuai dengan harapan, sedangkan hasil yang ada belum terlihat optimal. Hal tersebut diperburuk dengan masih adanya citra negatif yang melekat di dalam tubuh POLRI yang membuat pihak POLRI tidak dapat memberikan perubahan yang dapat terlalu dirasakan.
Sejak ditetapkannya Undang-Undang (UU) 20 tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan di bawah naungan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam). Penempatan POLRI di bawah Dephankam sebagai unsur ABRI tersebut berlangsung berturut-turut. Terakhir, berdasar Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, POLRI terpisah dengan TNI, dan langsung berada di bawah presiden.
Pada dasarnya, reformasi yang ada dalam pihak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sedikitnya meliputi tiga aspek, yaitu:
1. Reformasi instrumental.
2. Reformasi struktural.
3. Reformasi kultural.
Ketiga aspek itu, mustahil dapat direalisasi tanpa dukungan masyarakat, di samping -tentu saja- tanpa dukungan negara. Dalam kerangka itulah, perlunya peniadaan tarik menarik kepentingan, antara siapa atau pihak mana pun yang dalam jangka waktu panjang, menengah, atau pendek, dapat mengakibatkan kendala substansial perwujudan POLRI yang profesional dan mandiri.

II. 2. Perubahan Kultur

Reformasi POLRI hanya mungkin eksis jika ada dukungan masyarakat. Tanpa itu, perubahan kultur pribadi anggota (karakter polisi) khususnya yang diduga korupsi, menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang, keliru menggunakan diskresi, memberikan pelayanan yang buruk, atau melakukan tindakan diskriminatif dalam pelayanan-, mustahil dapat dilaksanakan. Dalam kaitan itu kita melihat, betapa di tengah bulatnya tekad pengabdian, pelayanan, dan pengayoman masyarakat oleh anggota dan institusi POLRI, tidak sedikit ditemukan fakta yang disebut publik sebagai polisi yang menyimpang. Polisi macam itu eksis, lantaran karakter pribadi bhayangkaranya tidak terpantau masyarakat. Di samping, yang jauh lebih penting, tidak secepatnya menerima sanksi administrasi dan hukum oleh atasan. Keberadaan polisi nakal sangat berbahaya, karena dapat merusak citra institusi tersebut, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat (public trust), serta merusak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri. Dalam konteks itulah arti penting reformasi kultural, di antaranya bertujuan meniadakan pemahaman yang keliru atau pemahaman yang sengaja digelincirkan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai diskresi polisi pada khususnya.
Melalui reformasi kultural, diharapkan penerapan diskresi POLRI lebih terarah kepada perwujudan etika dan profesionalisme polisi yang bersifat universal, sekaligus sebagai akses penyesuaian diri dengan domain kultural di lingkungan mikro (lokal), meso (regional), dan makro (nasional) setiap anggota POLRI bertugas (di dalam negeri). Reformasi POLRI merupakan prasyarat mutlak guna meniadakan justifikasi publik atas kekuasaan yang berlebihan. Sebab, jika justifikasi publik atas kewenangan yang berlebihan dibiarkan tersebar ke mana-mana, akan mendorong tumbuh serta berkembangnya kesan umum berupa superbody dari POLRI. Kesan demikian sama sekali tidak menguntungkan, karena POLRI punya batas kewenangan di tengah luasnya wewenang yang dimiliki sebagaimana diatur dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002.
Reformasi POLRI mutlak dibutuhkan, karena dengan itu akan terwujud kinerja kepolisian tentang apa, bagaimana, dan sejauh mana setiap anggota boleh dan tidak boleh berbuat. Reformasi POLRI membuka wacana bagi setiap orang yang menyandang status polisi atas boleh tidaknya pribadi yang bersangkutan melakukan pengaturan sikap serta perilaku seseorang atau sejumlah orang lain dalam situasi konflik. Tertutama jika situasi konflik tersebut dapat mengganggu keamanan dan ketertiban orang lain di sekitarnya.
Perubahan kultur pribadi polisi, tepatnya perubahan karakter setiap anggota sebagai salah satu sasaran reformasi, merupakan prasyarat mutlak terbentuknya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian di Tanah Air. Sebab, rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan kepemimpinan lembaga-lembaga formal penegak hukum, khususnya kepolisian, merupakan penyebab kegagalan reformasi POLRI secara keseluruhan.
Dengan cara demikian, publik akan menyadari, polisi itu bukan dewa. POLRI pun bukan lembaga dewa. Kesadaran publik tersebut, pada gilirannya akan membentuk barikade internal di tubuh POLRI, bahwa polisi bukan segala-galanya. Institusi kepolisian kita (POLRI) pun bukan lembaga superbody.


II. 3. Kontrol Publik

Realisasi reformasi POLRI, membutuhkan kontrol publik. Tanpa kontrol masyarakat, kedekatan permukiman warga dan pusat kegiatan awam dengan tempat bertugas polisi, disertai kewenangan polisi yang sedemikian luas, akan dapat membuka peluang polisi untuk bisa menyalahgunakan kekuasaannya. Tanpa kontrol publik, tidak sedikit oknum polisi dengan gampangnya bisa melakukan tindakan korupsi, memberikan pelayanan yang buruk, serta tindakan diskriminiatif. Selain itu, dapat seenak hati menerapkan diskresi, sehingga -sekalipun dibenarkan oleh hukum- melanggar hak asasi manusia (penggunaan diskresi yang keliru). Di sisi lain, ketatnya kontrol publik atas karakter anggota POLRI pada umumnya, akan mendorong atasan (pimpinan secara berjenjang) menjatuhkan sanksi administratif dan tindakan hukum bagi anggotanya yang nakal. Sebab, jika setiap jenjang komando di tubuh POLRI. Termasuk dalam kategori polisi nakal adalah polisi yang berpenampilan militeristik dan arogan dalam bertugas. Kultur militeristik polisi, bukan zamannya lagi. Demikian pula polisi bergaya arogan. Kedua karakter polisi di masa lalu itu, terbukti telah mengakibatkan keterpurukan citra yang berkepanjangan, sehingga tidak dapat lagi ditoleransi di masa sekarang dan mendatang. Berbagai kasus pelayanan publik di lapangan membuktikan, di tengah maraknya persaingan antarlembaga pelayanan publik, baik antar sesama lembaga pelayanan publik milik negara (termasuk POLRI) maupun antara lembaga pelayanan publik milik negara dengan milik swasta, tampaknya membuat masyarakat lebih memilih pelayanan yang dilakukan oleh lembaga nonPOLRI, ketimbang yang diperankan POLRI.
Penyebabnya mudah ditengarai, yakni tidak sedikit pelayanan POLRI yang mendatangkan risiko finansial (harus membayar) lebih banyak dibanding jika pelayanan sejenis dilakukan lembaga negara lainnya.


II. 4. Multidimensi

Itulah sebabnya, mengapa reformasi POLRI harus dilakukan dengan mempertimbangkan tidak hanya aspek dan kepentingan lokal serta nasional, tetapi juga lewat pendekatan kepentingan global. Itu berarti, reformasi POLRI bersifat multidimensi, kalau memang benar-benar bertekad keluar dari berbagai kemelut dan jebakan kerusakan citra sistemik. Aneka kemelut dan rusaknya citra secara sistemik, disebabkan terutama oleh keterlambatan pimpinan POLRI khususnya, serta berbagai pihak lain (pemerintah dan masyarakat Indonesia) untuk bersama-sama melakukan reformasi. Keterlambatan ketiga aspek reformasi tersebut, mengakibatkan sejumlah ideal dan norma hukum (bagian tanggung jawab POLRI) kehilangan maknanya. Salah satu contoh konkretnya adalah, ketika anggota POLRI tidak melaksanakan tugas seperti perintah hukum yang sesungguhnya, atau di saat oknum anggota POLRI menyalahgunakan kekuasaan, maka perilaku seseorang atau sejumlah orang yang memasuki ranah kewenangan lembaga peradilan (main hakim sendiri) pun menjadi bisa diterima awam. Buktinya, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang dapat secepatnya memancing tindakan yang sama dari orang lain, yang sebelumnya hanya diam saja.
Ketika mereka melihat polisi di sekitar tindakan main hakim sendiri tersebut cuma berdiam diri alias tidak bertindak keras melawannya, mereka pun terdorong ikut melakukan tindakan melawan hukum yang sama. Di saat karakter polisi hanyut dalam situasi kerawanan psikologi massa dan tindakan destruktif, maka arena pengadilan dalam kehidupan masyarakat yang mendahului proses hukum yang sebenarnya berubah menjadi semacam lembaga sosial baru di tengah pusat kegiatan publik. Selain itu, di saat anggota POLRI tidak mampu mencegah dan menjatuhkan sanksi hukum atas egoisme perorangan dan kelompok yang diwujudkan dalam tindakan anarkis, tidak mengindahkan etika, norma sosial, hukum, dan nilai luhur lainnya, maka kekerasan publik di satu sisi serta kekerasan negara (POLRI) di sisi lain akan menjadi lembaga dan kultur baru di tengah masyarakat.

Tidak ada komentar: